NTT

Di Mutis Kondisi nya Masih Memprihatinkan Pasca Referendum Timor Timur

Kondisi Jalan Di Wilayah Kecamatan Musi, NTT

KEFAMENANU, BN – Pasca berpisahnya Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1999 lalu, wilayah Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu wilayah yang berbatasan darat langsung dengan Republik Demokrat Timor Leste.

Wilayah Kecamatan Musi sendiri secara administrasi terbagi dalam 4 desa. Diantaranya Desa Tasinifu, Desa Naikake A, Naikake B dan Noelelo.

Sayangnya kendati sudah 18 tahun menjadi serambi depan negeri ini, kehidupan masyarakat di Kecamatan yang jarak tempuhnya lebih dari 60 km dari kota Kefamenanu Ibukota kabupaten TTU tersebut, terkesan tak tersentuh oleh pembangunan. Nyaris tak ada yang berubah sejak daerah ini berubah label menjadi daerah perbatasan.

Infrastruktur jalan yang merupakan salah satu faktor utama penopang perekonomian masyarakat setempat tak pernah diperhatikan pemerintah hingga saat ini. Kondisi jalan yang berbatu dan berlumpur menjadi pemandangan yang sudah biasa dialami oleh warga setempat. Padahal pembangunan dari titik batas menjadi salah satu tekad unggulan pemerintahan Jokowi.

Pantauan Bidik Nasional, ruas jalan yang becek dan berbatu jalannya juga sangat sempit seukuran badan bis atau truk.

Dari Kota Kefamenanu menuju ke Kecamatan Mutis, kondisi jalan yang bagus yang bisa dinikmati hanya sampai di Eban, Kecamatan Miomafo Barat. Selanjutnya, kondisi jalan yang berbatu dan berlumpur harus dilalui dengan jarak hingga 30 km lebih untuk mencapai wilayah Kecamatan Mutis.

Rombongan awak media yang saat itu menumpangi mobil truk milik Satgas Pamtas Yonif 742/SWY terpaksa harus berpegangan erat pada besi atau tempat duduk agar tidak terjatuh akibat goncangan truk.

Thomas Kefi salah seorang warga dusun Oelbinose desa Tasinifu saat di temui oleh Bidik Nasional, mengatakan bahwa kondisi jalan tersebut sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Kondisi jalan yang buruk tersebut, kata Thomas, menjadi penghalang bagi warga setempat untuk memasarkan hasil pertaniannya ke Kefamenanu. Kalaupun untuk mencapai Kota Kefamenanu, masyarakat terpaksa harus merogoh kocek hingga Rp 30 ribu untuk sekali jalan.

“Hasil bumi di sini banyak sekali. Tapi mau bilang apa. Terpaksa kita jualan di pasar Eban saja. Mau ke Kefa juga jauh. Tapi kalaupun jadi ke Kefa penumpang harus bayar Rp 30 ribu. Itu di luar ongkos barang,” ungkap Thomas.

Ia mengatakan bahwa 3 tahun lalu ruas jalan sempat diperbaiki sebagian namun tidak semuanya. “Ruas jalan yang diperbaiki hanya 100 meter aja terus 4 – 5 km lagi baru perbaiki lagi, lanjutnya.

Selain kondisi jalan yang berlumpur dan berbatuan, untuk mencapai Desa Naikake A dari Desa Tasinifu warga harus mempertaruhkan nyawanya dengan menyeberang melewati kali aplal yang panjang kali mencapai lebih dari 100 meter.

Di tempat terpisah Marta Malafu salah satu warga desa Tasinifu saat di temui Bidik Nasional. “Musim hujan seperti sekarang ini, banjir naik dan meluap. Sudah ada beberapa truk maupun bis yang sudah menjadi korban amukan deras nya air kali,” ujar Marta Malafu.

Ia mengaku sejak puluhan tahun tinggal di Desa Tasinifu ini belum pernah menikmati listrik.

Ia menambahkan beruntung dengan adanya bantuan listrik menggunakan kincir angin dari satgas Pantas Yonif 742/SWY, saat ini warga desa tersebut bisa menikmati penerangan listrik. “Terimakasih pak tentara karena sekarang kami sudah bisa pakai listrik,” pungkas Marta Malafu. (Lius/adi )

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button