Produksi Daging Surplus Tapi Harga Masih Tetap Tinggi
SURABAYA, JATIM, BN – Jawa Timur bisa dikatakan sebagai salah satu daerah penyangga produksi daging khususnya dari ternak sapi di tanah air. Berdasarkan catatan dari Dinas Peternakan Provinsi Jatim pada tahun lalu hingga sekarang, produksi daging sapi mencapai 102.932 ton pertahun. Sementara itu untuk kebutuhan produksi daging secara nasional tercatat 531.757 ton. “Dengan kondisi ini kami mampu memberikan kontribusi 19 persen untuk kebutuhan daerah-daerah di Indonesia,” kata Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jatim Wemmi Niawati saat memberikan presentasi kepada para wartawan di Ruang Brawijaya Kantor Gubernur Jatim belum lama ini.
Dikemukakan, khusus untuk kebutuhan masyarakat Jawa Timur saat ini adalah sebesar lebih kurang 92.000 ton dari jumlah produksi yang sekarang 102.932 ton. Dengan demikian ia menandaskan kalau Jawa Timur mengalami surplus daging 10,932 ton.
Saat ini, lanjutnya, Jatim telah mampu mencukupi kebutuhan daging sapi dalam provinsi sendiri. Selain itu juga memasok sapi siap potong ke luar provinsi yang merupakan bagian dari surplus ternak di Jawa Timur. “Indonesia saat ini masih mengalami defisit pasokan daging dan membutuhkan peran serta Jatim sebagai daerah penyangga kebutuhan daging. Oleh karena itu harus dipertahankan eksistensinya,” tutur dia.
Dijelaskan pula, untuk mempertahankan kondisi tersebut pihaknya telah membentuk ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mempercepat peningkatan populasi ternak. Jumlahnya saat ini tercatat 4.816 orang yang terdiri dari 4 petugas masing-masing petugas medik (dokter hewan) 366 orang, petugas paramedik veteriner 636 orang, petugas inseminator 1.436 orang, petugas pemeriksaan kebuntingan 1.129 orang, petugas ATR 319 orang dan petugas pelaporan isikhnas 930 orang. “Target kami untuk inseminasi buatan 1.365.138 ekor, kebuntingan 1.146.716 ekor dan kelahiran 1.050.000 ekor,” katanya.
Kendati produksi daging sapi sudah surplus, namun pihaknya tidak bisa menjamin kalau harga daging di pasaran bisa diturunkan. Saat menjawab pertanyaan penulis usai memberikan presentasi, Wemmi mengemukakan kalau soal harga daging bukan wewenangnya karena yang menentukan adalah para peternak sapi dan penjual daging eceran di pasar-pasar. “Dalam setiap presentasi saya tidak pernah menyinggung soal harga daging,” jawabnya.
Seperti diketahui untuk harga daging sapi di berbagai daerah di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Bahkan Presiden Jokowi pernah mengatakan harga daging sapi di Indonesia diupayakan untuk bisa kembali ke harga lama yakni Rp 90.000/Kg atau bahkan turun di bawah angka tersebut. Namun sampai kini harga dagin sapi masih bertengger Rp 120.000,-an perkilonya.
Salah seorang peternak , Usman, mengatakan di kawasan ia tinggal yang menentukan harga sapi selama ini adalah adalah blantik. “Setiap peternak disini yang ingin menjual sapi selalu berhubungan dengan blantik yang tempat tinggalnya juga di desa yang kami,” katanya saat ditemui pada acara Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting dengan memberikan Inseminasi Buatan (IB) gratis di Desa Wonoayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang yang merupakan program dari Dinas Peternakan setempat baru-baru ini.
Ia yang mengaku punya 7 sapi itu menyebutkan, untuk harga sapi yang masih pedet (umur sekitar 8 bulanan) mencapai Rp 8 juta sampai Rp 9 juta melihat kualitas hewan itu sendiri. Sedangkan yang sudah usia dewasa yakni umur 2 tahun lebih seharga Rp 30 juta.
Untuk penjualan sapi pihaknya lebih senang memilih blantik karena lebih berpengalaman dan juga tahu kualitas sapi apalagi kalau sudah deal dalam bertransaksi selalu dibayar tunai. “Kalau di koperasi petugas yang menilai kurang punya pengalaman,” katanya.
Untuk menambah populasi ternaknya ia memang selalu menggunakan jasa IB. Kalau tidak ada program gratis dari Pemerintah bisa menggunakan jasa IB yang ada di Dinas Peternakan kabupaten setempat. Untuk jasa inseminasi itu pihaknya ditarik uang Rp 60 ribu dan manakala belum ada hasilnya maka akan diulangi lagi penyuntikannya dan ada tambahan jasa administrasi lagi tapi separonya Rp 30 ribu.
Sementara itu Miskat selaku anggota dewan Kabupaten Malang yang hadir dalam kesempatan tersebut mengaku kalau pihaknya memang sedang mencari masukan dan bahan dari berbagai nara sumber tentang tingginya harga daging sapi.
Pihaknya berjanji segera membahas di dewan karena kondisi tersebut memang dilema, yakni di satu sisi stok daging melimpah tetapi harga masih tetap tinggi. “Kami segera mencari benang merahnya sehingga bisa cepat teratasi,” harapnya.
Dalam pada itu para pedagang daging sapi eceran di Pasar Wonokromo mengaku kini penjualan daging agak seret dan cukup lama menghabiskan daging jualannya. “Buka dagangan pagi dan baru sore hari habis. Padahal sebelumnya tidak sampai jam 12 siang daging sudah ludes,” kata Ny Lilis yang dihubungi penulis di kiosnya Pasar Wonokromo.
Pedagang yang sudah bertahun-tahun berjualan daging itu mengaku kondisi ini terjadi setelah harga daging terus menerus tinggi terutama kalau mendekati hari-hari besar seperti Lebaran. “Ada juga beberapa pelanggan kalau beli tidak seperti biasanya, karena dipastikan ada pengurangan berat daging, salah satunya adalah pedagang bakso,” sebut Lilis.
Menjawab pertanyaan ia mengatakan kalau naiknya harga daging itu mengikuti perkembangan pembelian sapi dan juga pasaran harga yang dipatok oleh pedagang daging yang ada di kiri kanan kiosnya. Jadi pihaknya tidak bisa mematok harga seenaknya yakni lebih tinggi atau kurang dari pasaran.
Dikemukakan, harga daging sapi yang ia jual di kiosnya perkilo Rp 120 ribu. Selain itu juga ada harga perkilonya Rp 115 ribu dan Rp 110 ribu. Khusus untuk harga yang Rp 120 ribu terdiri dari daging yang berkualitas.
Dalam sehari ia menyembelih satu ekor sapi yang ia beli dari daerah di Kabupaten Probolinggo. Untuk mendatangkan ia bersama suami datang ke peternak yang sudah menjadi langganan. Untuk satu ekor sapi harganya berkisar Rp 30 juta karena harus melihat besar kecilnya hewan tersebut. “Harga itu di luar transport Probolinggo ke Surabaya dan juga petugas yang mengantar untuk menaikkan dan menurunkan sapi,” katanya.
Pihaknya menghimbau kepada pihak terkait untuk menurunkan harga penjualan sapi. Ia mengaku memang tidak mengetahui liku-liku penjualannya, tapi berdasarkan pengalaman harga sapi dulunya tidak semahal sekarang.
Sementara itu akibat harga daging naik seorang pedagang nasi, sunlik, yang berjualan di pasar burung kawasan Bratang mengatakan, pihaknya jadi repot dan kesulitan menghadapi pembeli. “Mau tak naikkan harga perposinya ya tidak enak karena bisa saja mereka tidak mau jadi pelanggan lagi,” tuturnya kepada penulis.
Oleh karena itu ia mensiasati mengurangi daging dengan cara mengiris kecil-kecil tidak seperti biasanya. Dengan demikian ia sampai sekarang tetap eksis berjualan. Di warung miliknya itu ia menyediakan nasi rawon, krengsengan, bali dan soto yang ikannya menggunakan daging sapi. Selain itu ia juga menyediakan ikan lain seperti sayur lodeh dan pecel.
Sebagai rakyat kecil pihaknya menghimbau kepada pemerintah untuk bisa mengembalikan harga seperti dahulu yakni tidak selalu terus merambat naik. Kalau saja daging terus merangkak naik lama-lama ia tidak berani memasak ikan dengan bahan tersebut. “Takut rugi pak dan bisa-bisa tidak kuat berjualan lagi,” katanya.(dji)