OPINI

SP3, Tersangka dan Pelanggaran HAM

Oleh: Dr. Slamet Pribadi.
Pengamat Hukum.

Menarik sekali untuk diperbincangkan soal hukum pidana, dikala sedang trend isu Sp3 atau Surat Penetapan Penghentian Penyidikan di tingkat Penyidikan yang selama ini hanya dipahami oleh pihak yang sedang belajar hukum, pihak yang terpelajar soal hukum khususnya soal hukum pidana.

Induk Hukum Acara Pidana ada di UU no 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur soal Penyelidikan dan Penyidikan, meskipun soal Penyelidikan sangat sedikit sekali diatur. Karena memang dua hal itu dari sisi tehnis adalah hal yang berbeda tapi saling melengkapi. Diikuti dengan UU lainya disamping mengatur soal perbuatan tertentu seseorang juga sekaligus mengatur hukum acaranya secara khusus, namun masih menginduk kepada UU no 8 tahun 1981 diatas.

Saya tidak dalam posisi pro dan kontra isu panas soal SP3 di KPK pada bulan September 2019 ini, saya lebih mengarah kepada Ilmu Hukum, agar kita semua lebih jernih mendapatkan pengetahuan dasar soal SP3 (Surat Penetapan Pemberhentian Penyidikan, baik karena tidak cukup bukti atau perkaranya bukan perkara pidana atau perkaranya diberhentikan demi hukum, misalnya Tersangka meninggal dunia). Apa lagi berkenaan dengan penempatan seseorang menjadi tersangka.

Dalam perkara pidana, seorang Penyidik atau petugas hukum pidana tatkala memposisikan seseorang sebagai Tersangka harus tunduk kepada azas Kehati-hatian, disamping tunduk kepada KUHAP atau UU lain yang mengatur hukum acaranya. Sebetulnya ketaatan kepada Azas Kehati-hatian ini harus ditaati ketika memulai pelaksanaan proses perkara pidana itu, dimana perkara pidana itu tidak terburu buru diberlakukan,kecuali keadaan tertentu, sebelum hukum lain (misalnya: hk perdata, pidana, administrasi, dll) diberlakukan. Karena hukum pidana itu berhubungan dengan pemaksaan oleh alat kekuasaan atau penegak hukum atas nama UU dan jabatan atau petugas yang berhubungan dengan UU, seperti Polisi, jaksa, Hakim atau Pegawai Lapas, atau yang lainnya yang berhubungan dangan hukum pidana, Lebih tepat lagi Petugas yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana, untuk memaksa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu kepada seseorang untuk mengikuti perintahnya atas nama UU dan jabatannya itu, misalnya diposisikan sebagai tersangka, dikenakan penahanan, barang-barangnya disita dll. Hukum ditempatkan sebagai Ultimum Remidium, palu terakhir dalam penegakan hukum pidana.

Seseorang ditempatkan sebagai tersangka harus melalui tahapan-tahapan pembuktian secara runtut, tidak boleh lompat-lompat. Apakah sudah memeriksa Pelapor secara detail? Apakah sudah memeriksa para Saksi secara detail? Apakah sudah memeriksa bukti-bukti secara detail? Kemudian apakah antara bukti yang satu dengan bukti yang lain ada persesuaian? Tidak bisa kita langsung lompat menempatkan sebagai tersangka kepada seseorang, kalau langsung banyak konsekwensinya, bisa terjadi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum, palanggaran kode etik, dll, bahkan melanggar HAM.

Sebaliknya ketika seseorang diposisikan sebagai tersangka, juga harus berkepastian hukum, jika perkaranya cukup bukti, maka perkaranya harus diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum, untuk dituntut dihadapan pengadilan, statusnya berubah menjadi terdakwa. Jika sudah diputus Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, statusnya berubah menjadi terpidana, dan jika sudah selesai melaksanakan pemenjaraan atau sebagai warga binaan, maka statusnya menjadi terbebas, lunas lah beban dia kepada Negara dan masyarakat.

Disisi lain manakala perkara pidana itu telah menempatkan seseorang tersangka, ternyata kemudian tidak cukup bukti, maka perkara pidananya harus di hentikan. Perintah pasal 109 KUHAP sudah jelas, memulai perkara diberitahukan kepada JPU, cukup bukti perkara pidananya diteruskan ketingkat pemeriksaan pengadilan oleh jaksa Penuntut Umum kemudian diputus oleh Pengadilan, kalau tidak cukup bukti dihentikan atau di SP3, kalau di Pengadilan dibebaskan atau dinyatakan tidak bersalah.

Jadi dalam Hukum Pidana tidak ada dan tidak boleh ada Tersangka seumur hidup, tanpa kejelasan perkaranya, ini bisa melanggar HAM, karena statusnya masih Tersangka, kemudian yang bersangkutan mau mengurus semua administrasi apapun bisa cacat hukum, karena masih Tersangka. Negara melalui para penegak hukumnya mengekang seseorang tanpa batas, karena posisinya masih tersangka, bahkan bisa juga yang bersangkutan bisa sampai meninggal dunia tetap masih menjadi tersangka. Ironis memang kalau seperti ini.

Note :

Penulis, jabatan sekarang Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Bekasi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button