
Tanda bukti pembayaran air PDAM dan denda PK Rp.132 ribu, sudah diberikan cap oleh Kantor Cabang Pelayanan Lohbener Perumdam Tirta Darma Ayu Kabupaten Indramayu (Foto : Candra)
Soal Tanda Bukti Denda PK Rp132 ribu
INDRAMAYU, bidiknasional.com – Kantor Cabang Pelayanan Lohbener PDAM atau Perumdam Tirta Darma Ayu Kabupaten Indramayu menerbitkan denda kepada pelanggan untuk keterlambatan pembayaran air dengan menerbitkan denda PK Rp132 ribu yang harus dibayar pelanggan.
Hanya saja, tanda bukti pembayaran antara Denda PK Rp132 ribu dan tagihan air dibuat terpisah dan, itu membuat pertanyaan publik. Salah satunya Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), Oushj Dialambaqa.
“Jika kita melihat dan membaca fakta dan data dari alat bukti formilnya mengenai denda atas keterlambatan konsumen membayar kewajiban atau tagihan PDAM menjadi lucu, menggelikan dan bahkan betapa amburadulnya manajemen dan sistem akuntansi di PDAM,” ujar Oushj Dialambaqa kepada Koran Mingguan Investigasi Bidik Nasional (BN) / bidiknasional.con (bn.com), Rabu (22/12/2021).
Oushj Dialambaqa lanjut menjelaskan, hal tersebut terbukti, ada konsumen dikenakan denda karena 3 bulan belum bayar tagihan atas pemakaian airnya. Kantor Cabang Lohbener kemudian menerbitkan bukti pembayaran denda PK sebesar Rp 132.000,00. Pada bukti pembayaran rekening air juga dikenakan denda setiap Rp 5.000,00 per bulan. Dalam bukti kertas rekening tagihan dikenakan denda Rp. 5.000,00 sehingga konsumen berdasarkan bukti rekening tersebut denda dikenakan pada bulan kedua dan ketiga, masing-masing rekening tagihan yang telah dibayar tertera denda Rp 5.000,00. Jadi Rp 5.0000,00×2= Rp 10.000,00. Ternyata konsumen harus membayar Rp 132.000,00. Setelah dibayar diterbitkan kertas dengan identitas lengkap kantor cabang PDAM dengan bunyi : Denda PK Rp 132.000,00.
“Bukankah denda PK itu dikenakan setelah adanya pencabutan meter air kemudian dipasang kembali. Namanya saja PK, yaitu Pemasangan Kembali. Jadi jika dikenakan denda PK seharusnya diputus atau dicabut dulu sambunganya, dan baru disambung kembali setelah lunas dibayar. Jika seperti kasus tersebut, berarti tidak mengerti bahasa Indonesia dengan kata “pemasangan” dan kata “kembali”. Jika kacau balau seperti itu ya berarti harus masuk SD (Sekolah Dasar) lagi, karena bahasa Indonesianya buruk atau belum lulus,” jelas Oo sapaan akrab Oushj Dialambaqa.
“Bukti denda PK tetsebut adalah ×/- 1/8 kertas copy paper 4A. Bukti denda PK tersebut tidak divalidasi lunas dan atau cap stempel lunas dan parap. Alat bukti tersebut sebagai tanda terima pembayaran seperti itu tak ada bedanya dengan robekan secarik kertas bungkusan cabai ceplik pedagang lemprakan di pasar. Mengapa? Secara yuridis tidak bisa sebagai tanda bukti penerimaan uang bagi PDAM, dan sebagai tanda bukti pembayaran itu pun bagi konsumen juga tidak bisa sebagai tanda bukti pembayaran denda. Itu bagaikan kertas robekan nemu di trotoar jalan depan kantor pusat PDAM atau dari tong sampah PDAM,” lanjut Oo menjelaskan.
Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), Oushj Dialambaqa (Foto : istimewa)
Lebih lanjut, Oo menjelaskan, terkait tanda bukti denda PK senilai Rp132 ribu tersebut, dari sisi sistem akuntasi.
“Dari sisi sistem akuntansi atau form akunting seperti itu dipakai sebagai tanda bukti pembayaran untuk dan atau dari konsumen, hal tersebut menjadi kedunguan akunting. Lantas bagaimana mungkin kertas robekan bungkus cabai ceplik dari warung dipakai sebagai dasar pembukuan menurut akunting? Akuntansi dari negeri mana kok seperti itu. Kedunguan akunting itu seharusnya tidak terus dipelihara oleh Dirut baru. Indikasi kuatnya, tidak hanya terjadi di kantor cabang PDAM pelayanan Lohbener saja. Pertanyaannya, apakah kantor pusat di bawah Dirut baru DR. Ir. Ady Setiawan, SH, MH sebagai orang profesional itu tidak tahu?,” tanya Oo.
“Bisa jadi Dirut baru tidak tahu meski peristiwanya terjadi, salah satu faktanya setelah adanya Dirut Ady Setiawan. Bisa jadi juga pura-pura tidak tahu dengan apologi dan alibi dirinya sebagai Dirut baru penjabat satu bulan lebih saja, tetapi media sudah memberitakannya dan sudah juga pemberitaan tersebut sampai ke tangan Dirut Ady Setiawan. Lantas bagaimana tindakannya, karena itu sudah dalam ranah korupsi di tubuh PDAM yang terjadi dibawah tanggung jawab sepenuhnya Dirut Ady Setiawan. Indikasi kuatnya hal serupa itu sudah lama terjadi, lantas apakah jajaran Direksi juga tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan tanda bukti robekan kertas bungkus cabai ceplik tersebut? Bagaimana kemudian dengan Laporan Keuangannya (Neraca dan Laba Rugi) jika begitu yang terjadi?,” tanya Oo kembali.
Masih menurut Oushj Dialambaqa, fakta dan realitas seperti itu mencerminkankan dan atau menunjukan tidak bergunanya SPI (Satuan Pengendali Internal) PDAM, tidak bergunanya orang-orang yang duduk di kursi Badan Pengawas dengan gaji besar, dan tidak bergunanya Inspektorat padahal modal kerjanya bersumber dari APBD, serta merta tidak bergunanya DEWAN, dimana salah satu tupoksinya melakukan pengawasan terhadap BUMD, ternasuk PDAM? Jika semuanya tidak berguna, ya sudah bubarkan saja SPI PDAM, Badan (Dewan) Pengawas PDAM, Inspektorat dan Dewan yang terkait dengan tupoksinya tersebut daripada publik geram, jengkel dan seterusnya yang dipicu juga sikap tak pedulinya APH dalam perkorupsian di tubuh PDAM yang nilainya bisa mencapai +/-Rp 100 milyaran, dan perkorupsian di PD. BWI dan BPR KR yang juga tidak kalah fantastiknya jika APH mampu berdaya guna dan mampu membongkarnya.
“Tantangan bagi profesionalitas Dirut baru Ady Setiawan adalah membuktikan mengatasi kebobrokan tersebut, dan publik menantinya dalam transaparansi dan akuntanbilitas publik atas PDAM dibawah Dirut Ady Setiawan. Pertanyaan berikutnya sebagai tantangan seorang Dirut yang mengklaim profesional dengan manajeme profesionalnya adalah bisakah Dirut Ady Setiawan membuktikan kepada publik untuk dua hal yaitu transparansi dan akuntabilitas publik atas keprofesionalan manajemennya yaitu setiap bulan mempublikasikan Laporan Keuangan (NERACA & LABA RUGI), karena sebagai BUMD hal tersebut menjadi hak publik yang harus bisa diakses. Jika tidak bisa membuktikan itu semua, sudahi ngomong soal transparansi dan akuntabilitas. Sudahi ngomong profesionalisme sebagai seorang Dirut. Jangan dikira dan jagan berasumsi bahwa publik dungu semua. Mari kita buktikan itu semua, bahwa di tangan Dirut Ady Setiawan, PDAM bisa sembuh dari sakit parahnya. Kita tunggu saja fakta dan realitasnya?,” pungkasnya.
Sementara itu, di hari yang sama, Kepala Cabang Pelayanan Lohbener PDAM atau Perumdam Tirta Darma Ayu Kabupaten Indramayu, Yayah Khoeriyah, ketika diberikan pertanyaan terkait kenapa pelanggan tidak diberikan tanda bukti resmi pembayaran denda PK Rp132 ribu, ia menjawab, “nanti bisa diganti sama yang resmi,” ucap Yayah.
“Iya sementara ini memang yang ada itu, nanti kedepan akan dikasih yang resmi, dan itu memang akan masuk ke PDAM,” imbuhnya.
Dijelaskan Yayah, denda PK senilai Rp132 ribu adalah ketika pelanggan tidak membayar selama dua bulan berturut-turut dan nanti akan dikenakan biaya penyambungan kembali.
“Ada di rekomendasinyabada, dasar-dasarnya nanti bisa ke humas ya, Jadi ketika dua bulan berturut-turut tidak membayar itu nanti akan dikenakan biaya penyambungan kembali, 1 bulan itu kan 10%, artinya ada regulasi itunya,” jelas Yayah.
Kemudian, Yayah juga menjelaskan terkait dengan denda senilai Rp5 ribu di struk pembayaran air. “Nah itu denda untuk pelanggan yang air itu, masuknya ke air, kalau ini non air, pendapatan non air,” ujarnya. (Candra)