Nyadran tradisi Warga Dusun Gupak warak, Pelemgede, Baru rono, dilaksanakan setiap bulan Sya’ban (Ruwah) jelang Ramadhan, pada hari Sabtu Pon 18 Maret 2023 area Makam Klecung dan Minggu Wage 19 Maret 2023 di area Makam Kyai Ngedek (Foto: Rilis)
BOYOLALI, BIDIKNASIONAL.com – Warga Dusun Gupak warak, Pelemgede, Baru rono, Sekarang, Desa Dologan, Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali dan sekitarnya mengadakan tradisi nyadran pada hari Sabtu Pon 18 Maret 2023 di area Makam Klecung dan Minggu Wage 19 Maret 2023 di area Makam Kyai Ngedek.
Untuk diketahui, bulan Sya’ban (Ruwah) Nyadran / Sadranan adalah suatu tradisi turun temurun dilaksanakan setahun sekali sebelum menjelang Bulan Romadhon.
Diawali dengan prosesi bersih-bersih diarea makam ( Makam Klecung dan Makam Kyai Ngedek)
Adapun Tradisi nyadran menurut beberapa sumber diceritakan, sudah dilaksanakan pada masa kerajaan Majapahit, srada dilaksanakan oleh Raja Hayam Wuruk untuk memperingati kematian Rajapatni, upacara dilaksanakan pada Bulan BadraTahun Jawa 1284 atau 1362 Masehi, dalam tradisi Jawa asli, srada hanya dilakukan, dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, Rajapatni yang dimaksud adalah putri Gayatri, putri bungsu Raja Kertarajasa yang mangkat pada tahun 1350 Masehi.
Ketika Agama Islam masuk ke tanah Jawa, sekitar tahun 1300 Masehi, papar KH. A.Muwafiq para pendakwah yang lebih dikenal dengan Wali Songo merasa harus berhadapan dengan kultur masyarakat yang sangat kental akan tradisi termasuk upacara srhada tersebut, kala itu para Wali terutama Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) berusaha agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa dengan mudah dan tidak ada rasa terpaksa.
Para Walisongo dalam melakukan syiarnya melalui pendekatan persuasif, mereka menciptakan sesuatu sebagai daya tarik masa ke masyarakat, para Wali berusaha untuk tetap menghormati segala sesuatu yang sudah menjadi dan adat istiadat penganut Agama Hindhu dan Budha maupun masyarakat yang belum memiliki Agama.
Kuatnya keyakinan Jawa akan tradisi membuat para Walisongo mengunakan cara pendekatan (menyentuh batin) dengan cara memasukan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang dianut oleh masyarakat Jawa, sebab jika menyerukan masyarakat Jawa langsung dengan ketegasan Syariat Islam, pasti dakwah para Walisongo akan mendapatkan penentangan dan penolakan dari masyarakat Jawa pada waktu itu, ungkapnya.
Pada saat keyakinan dan rasa iman masyarakat sudah mantap dan yakin untuk memeluk Agama Islam,dari mantra-mantra untuk upacara srhada untuk para arwah leluhur di Desa Singkal, Kediri, JawaTimur oleh Walisongo dirubah(diganti) dengan bacaan tasbih, tauhid dan takbir, yang dirangkai dengan bacaan surat-surat pendek dari Al Qur’an dan di lakukan, dilaksanakan (dilestarikan) hingga sekarang.
Maka dari itu, dalam Sambutan nya Kepala Desa Dologan Sugeng Riyanto menyampaikan Sadranan Makan Klecung dan ” Makam Ngedek” menyampaikan acara prosesi nyadran di wilayahnya dilakukan dengan bersih-bersih Makam, terus dilanjutkan dilaksanakan tahlil untuk dikirim ke arwah leluhur masing-masing, kemudian dilanjutkan Tausyiah Kyai Mubaligh dari Banyubiru, Kabupaten Semarang di Aula depan “Makam Ngedek”sampai selesai itu sudah dilakukan menjadi adat istiadat turun temurun setiap satu tahun sekali.
Dalam acara nyadran ada sejumlah persiapan serangkaian kegiatan gotong royong membersihkan area makam leluhur, bisa dimaknai sikap membangun kebersamaan dan bisa dimaknai dengan tajuk kearifan lokal sebagai sumber narasi multikulturalisme.
Sadranan berasal dari kata sradha artinya yakin bakti terhadap leluhur, jadi masyarakat Jawa mempunyai kasmologi di daerahnya, yaitu ikatan dengan leluhur.
Sadranan ada tiga aspek Spiritual, sosial dan lingkungan (ekologi) menjadikan relasi bersama antara manusia yang masih hidup dengan leluhur yang sudah meninggal tetap ada jalinan ikatan batin yang kuat.
Aspek sosial nyadran menguatkan budaya gotong-royong membangun jejaring kebersamaan dan juga toleransi, saat acara sadranan semua berkumpul bareng, berdampingan dan semua merasa menjadi bagian dari keturunan leluhur, mereka bisa berbagi makanan tanpa memandang identitas dan status sosial.
Lingkungan (ekologi) masyarakat bisa menjadikan makam atau kuburan sebagai tempat pertemuan sesama dimakamkan dalam satu area lingkungan makam.
Sugeng menegaskan, Intisari dari kegiatan nyadran tersebut harus bisa dilestarikan (kearifan lokal).” Ini memperlihatkan membangun persaudaraan, kebersamaan, perdamaian dalam kehidupan dan kematian,” jealsnya.
Laporan: Ahmad Mukhlis/Rilis
Editor: Budi Santoso