
Potret eksploitasi anak bersama pria paruh baya mengamen di caffé depan Lapas klas IIB Lamongan, Jawa Timur. (Foto.dok: Bang IPUL / Tian)
LAMONGAN, BIDIKNASIONAL.com –
Eksploitasi anak menjadi salah satu potret pemandangan yang masih marak terjadi di Indonesia termasuk di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Rabu, (07/06).
Berdasarkan SK Bupati Lamongan No. 188/125/Kep/413.013/2017 tentang Perubahan SK No. 188/231/Kep/413.013/2017 tentang Lembaga Perlindungan Anak Kabupaten Lamongan.
SK Bupati Lamongan No. 188/134/Kep/413.013.0/2021 tentang
Perubahan SK No. 188/126/Kep/413.013./2018 tentang Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak.
SK Bupati Lamongan No. 188/333/Kep/413.013/2021 tentang Pusat
Pembelajaran Keluarga (Puspaga) LA-SMART.
Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Perda No. 3 Tahun 2019 tentang Kabupaten Layak Anak.
Perda No. 15 Tahun 2019 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah.
Kabupaten Lamongan melalui Dinas PPPA telah menjalankan berbagai kebijakan PPA, di antaranya melalui produk hukum, program kerja, dan juga kegiatan.
Ketua Umum Non-Governmental Organization Jaring Pelaksana Antisipasi Keamanan (NGO JALAK) Amin Santoso dalam hal ini mengungkapkan, pertama, mengenai eksploitasi anak.
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014, eksploitasi anak sendiri merupakan tindakan pemanfaatan kemampuan dan tenaga anak secara paksa baik secara ekonomi maupun seksual yang akan memberikan keuntungan kepada pihak lain.
Terdapat dua jenis eksploitasi anak yaitu eksploitasi anak secara ekonomi dan secara seksual. Eksploitasi anak secara ekonomi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak dengan memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak untuk mendapatkan keuntungan materiil bagi pihak lain.
Eksploitasi anak secara seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ seksual anak untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak lain. Dalam bentuk seksual biasanya seorang anak akan dijadikan pekerja seks di mana anak tersebut akan memiliki tarif yang harus dibayarkan oleh pemesannya.
Pengamen anak yang biasa kita temui di lampu merah jalanan merupakan salah satu contoh eksploitasi anak secara ekonomi. Di Kabupaten Lamongan, terungkap bahwa anak-anak berusia 5 sampai 12 tahun sering kali ditemukan menjadi pengamen di traffic light (lampu merah), juga mengamen dari caffé ke caffé.
Diyakini bahwa para pengguna jalan cenderung lebih berempati terhadap anak-anak sehingga penghasilan yang didapatkan juga lebih banyak dibandingkan dengan pengamen dewasa. Tidak jarang pula kita temukan pengamen dewasa membawa bayi sebagai “media” untuk menarik perhatian pengguna jalan.
Kedua, pelaku eksploitasi anak, siapapun dapat menjadi pelaku eksploitasi anak. Bahkan orang terdekat seperti orang tua juga tidak jarang menjadi pelaku eksploitasi anak. Di Kabupaten Lamongan, beberapa anak mengaku diperintahkan oleh keluarganya untuk menjadi seorang peminta minta (pengemis).
Dari hasil pantauan Non-Governmental Organization Jaring Pelaksana Antisipasi Keamanan (NGO JALAK) di beberapa traffic light perempatan di wilayah Kabupaten Lamongan, seorang anak mengaku bahwa ia bekerja sebagai pengamen/pengemis karena diperintahkan oleh ibunya, bahkan juga bisa dipekerjakan orang lain.
Namun, seorang anak di bawah umur juga dapat menjadi pelaku eksploitasi anak. Contohnya, juga mengamen dari caffé ke caffé di wilayah kota Lamongan. Namun diyakini bahwa anak-anak yang menjadi pelaku ini juga merupakan seorang korban. Selain keluarga, pelaku eksploitasi anak juga dapat datang dari orang di luar keluarga alias dipekerjakan.
Ketiga, penyebab eksploitasi anak, lantas apa yang menjadi penyebab maraknya eksploitasi anak ini? Penyebab yang paling umum adalah adanya masalah ekonomi. Orang tua biasanya mendorong atau bahkan memaksa anak mereka untuk bekerja agar dapat membantu menghasilkan uang dan membantu perekonomian keluarga.
Pandangan yang salah di mana anak dianggap memiliki objek nilai ekonomi juga menjadi penyebab eksploitasi,” ungkap Bang Amin sapaan familier Amin Santoso yang juga Humas paguyuban PUALAM (Putra Asli Lamongan (Pualam) di Jakarta yang beranggotakan 20 ribu orang perantauan ini.
Lebih lanjut, kata Bang Amin, “Cacat nya penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi juga menjadi faktor pendorong maraknya kasus eksploitasi. Terdapat pula faktor yang berasal dari dalam diri anak. Di mana seorang anak merasa iba dan kasihan terhadap orang tuanya sehingga mereka lebih memilih bekerja daripada sekolah dan bermain.
Kurangnya pengetahuan mengenai peraturan yang mengatur tindakan eksploitasi, selain itu, serta pengetahuan mengenai dampak dari eksploitasi menjadi faktor pendorong maraknya eksploitasi anak.
Berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak, seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, bergaul, bermain, beristirahat, dan berekreasi.
Beberapa peraturan seperti UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convension serta UU Nomor 1 Tahun 2000 telah memperjelas batas minimal dan syarat seorang anak diperbolehkan bekerja. Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga telah mengatur hukuman yang akan diberikan kepada pelaku eksploitasi anak.
Para orang tua dan orang dewasa juga harus sadar bahwa mengeksploitasi anak merupakan tindakan tidak berperikemanusiaan dan bentuk hilangnya tanggung jawab dan moral masyarakat.
Pemerintah bersama dengan seluruh masyarakat, khususnya orang tua, harus ikut ambil bagian dalam memberantas adanya eksploitasi anak. Semua anak Indonesia harus terbebas dari segala bentuk pemerasan, pemaksaan, penindasan, dan eksploitasi.
Semua anak berhak atas pemenuhan hak-hak nya. Semua anak Indonesia termasuk anak Lamkngan harus memperoleh haknya yakni hak untuk memperoleh pendidikan, beristirahat dan memanfaatkan waktu luang untuk bergaul, bermain, dan berekreasi.
Masyarakat dan pemerintah harus sadar akan pentingnya kualitas anak Indonesia bagi kelangsungan nusa dan bangsa,” pungkasnya.
Penulis : Bang IPUL / Tian
Editorial : Budi Santoso