SURABAYA, BIDIKNASIONAL.com – Berdasarkan ketemuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b serta ayat (3) KUHAP surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Surabaya haruslah memenuhi syarat-syarat formal dan materiil, namun dakwaan jaksa melanggar keduanya, juga tidak memuat dan menyebutkan waktu tempat delik dilakukan terdakwa.
Surat dakwaan juga tidak disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan. “Oleh sebab itu, kami memohon kepada yang mulia majelis hakim agar surat dakwaan jaksa dinyatakan batal demi hukum”, tandas ketua tim Andrean Gregorius Pandapotan Simamora, SH,MH ketika membacakan nota eksepsinya dalam sidang baru-baru ini di ruang Kartika PN Surabaya.
Ditegaskan Gregorius, di dalam surat dakwaan, jaksa tidak memuat secara lengkap peristiwa hukum yang terjadi, yaitu pernyataan, “karena saksi korban Ali Subir tidak berbuat seperti yang dituduhkan oleh terdakwa “PP”, bahwa tanpa pemaparan kronologis lengkap terkait alasan pihak korban itu tidak melakukan apa yang dicurigai oleh terdakwa yaitu percobaan pencurian motor Yamaha Mio milik terdakwa dan tidak terpenuhinya unsur karena terdakwa setelah mendaptkan jawaban benar menurut terdakwa dari korban perihal percobaan pencurian yang dilakukan korban, terdakwa bertikat baik berhenti menyerang korban serta membuka pintu agar korban bisa melarikan diri dan menyuruh korban untuk segera menjauhkan diri dari terdakwa, dan hal ini akan dibuktikan tim kuasa hukum terdakwa.
Terdakwa “PP” didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 338 Jo.Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 351 ayat (2) atau Pasal 353 ayat (2) atau Pasal 354 ayat (10) semuanya KUHPidana dan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No.12 Tahun 1951. Pengajuan eksepsi yang dilakukan kuasa hukum itu sesuai amanat Pasal 143 ayat (2) dan Pasal 144 ayat (3) Kitab Undang2 Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan juga hak terdakwa sesuai Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
Pengajuan keberatan ini, kata Gregorius, sama sekali tidak mengurangi rasa hormatnya kepada majelis hakim pemeriksa perkara a quo Jaksa, akan tetapi demi tegaknya keadilan sebagaimana semboyan yang selalu dijunjung bersama selaku penegak hukum yaitu Fiat Justitia Ruat Coelum, juga bukan untuk memperlambat jalannya proses persidangan ini seperti disebutkan dalam Azas Trilogi Peradilan bertujuan untuk terciptanya peradilan yang adil dan berimbang.
Mengutip M.Yahya Harahap mengatakan, bahwa “pada dasarnya alasan yang dapat dijadikan dasar hukum mengajukan keberatan agar surat dakwaan dibatalkan, apabila tidak memenuhi ketemuan Pasal 143 atau melanggar Pasal 144 ayat (2) dan (3) KUHAP”.
Tim Gregorius juga menyontek buku Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia oleh Fitri Wahyuni menegaskan, Pasal 53 ayat (1) KUHP hanya menentukan jika percobaan melakukan kejahatan itu terjadi, atau menentukan syarat2 yang harus dipenuhi agar seorang selaku dapat dihukum karena bersalah melakukan suatu percobaan, yakni adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan dari niat dan pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak pelaku.
Dalam unsur ketiga, jelas Gregorius, yaitu harus ada pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak pelaku, tetapi menurut Fitri Wahyuni dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan dan tidak terjadi karena memang dari terdakwa mengurungkan niatnya agar korban Ali Subir meninggalkan tempat kejadian perkara dan segera melarikan diri. “Maka dari itu terdakwa tidak dapat dihukum atas percobaan pembunuhan”, ungkap Gregorius.
Kuasa hukum ini menegaskan pula, jaksa tidak bisa membedakan penganiayaan ringan atau barat dalam surat tandanya, tapi secara yuridis menurut mendapat Sarjana R.Soesilo dalam nilainya KUHPidana bahwa peristiwa pidana dalam Pasal 352 disebut penganiayaan ringan dan termasuk kejahatan ringan adalah penganiyaan yang tidak “menjadikan sakit”, terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Sedangkan penganiayaan berat dalam Pasal 354 KUHP, R.Soesilo menjelaskan supaya dapat dikenakan pasal ini, maka niat si pembuat harus ditujukan pada luka barat, artinya luka berat harus dimaksud si pembuat. Apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang berakibat luka berat sebagaimana diatur di dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP.
Dalam hal ini, tim kuasa hukum menyatakan, bahwa luka yang disebabkan oleh terdakwa PP tidak termasuk luka berat, karena berdasarkan Visum Et Repertum 400.7/42750/RSMS/VER/436.7.2.1/2024 ditandatangani dr.Eny Wijayanti dari RSUD dr.M.Soewandhi Surabaya menyimpulkan Ali Subir mempunyai halangan dalam menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian hanya 5 hari, mengingat luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 KUHP yaitu : jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut, kehilangan salah satu panca indera, cacat berat, menderita lumpuh, terganggu daya pikir selama 4 minggu atau lebih, gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Gregorius dan Glen Petrica Endru Ibrahim menegaskan, luka pada korban Ali Subir tidak termasuk kategori luka barat, sebab korban sudah sembuh sehingga bisa menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. “Eksepsi yang kami ajukan tersebut adalah berdasarkan fakta dan hukum yang nyata”, tandas Gregorius.
Karena itu, tim kuasa hukum memohon kepada majelis hakim yang terhormat untuk mengambil keputusan : mengabulkan eksepsi dari kuasa hukum PP, menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Reg.Perkara B-5702/M.5.43/Eoh.1/011/2024 Batal Demi Hukum atau tidak dapat diterima, menyatakan perkara a quo tidak diperiksa lebih lanjut, memerintahkan Jaksa untuk segera membebaskan terdakwa keluar dari tahanan, memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa, membebankan biaya perkara kepada Negara.
Laporan: AKARIM
Editor: Budi Santoso