JATIMSURABAYA

Terdakwa “PP” Dituntut 8 Tahun Penjara, “Tidak Terbukti Melanggar Pasal-pasal KUHP Berlapis”

"Bukti lebih terang daripada cahaya"

Advokat Andrean Gregorius P.Simamora SS,MH menyerahkan nota pledoi kepada majelis hakim di ruang Kartika 2 PN Surabaya. (Foto : Ak BN Surabaya)

SURABAYA, BIDIKNASIONAL.com – Terdakwa Puguh Prasetyo, 26, ternyata dituntut pidana penjara cukup tinggi selama 8 tahun, padahal tidak cukup bukti terdakwa melanggar pasal-pasal KUHPidana berlapis dan dakwaan ataupun tuntutan jaksa penuntut umum merupakan hal yang sangat berbeda dengan pandangan pengacara terdakwa yang memiliki pendirian dan penilaian yang obyektif dari perspektif secara subyektif.

Di awal nota pledoinya yang diajukan ke majelis hakim Rabu sore kemarin, (19/3/2025) Andrean Gregorius Pandapotan Simamora, SH,MH,CCD, kuasa hukum terdakwa PP menegaskan, “bukti lebih terang daripada cahaya” dan mengungkapkan, pledoi yang diajukannya itu hendaknya dinilai semata-mata sebagai peninjauan perkara pidana yang disidangkan dimana acara hukum pidana dilihat dari sudut pembelaan.

Jaksa Parlindungan Tua Manullang, SH mendakwa PP yang pertama telah melakukan perbuatan tindak pidana sesuai bunyi Pasal 338 Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHPidana, dakwaan kedua melanggar Pasal 351 ayat (2) KUHPid dan ketiga Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantiejdelijke Bijzondere Strafbepalingen. (Stbl.1948 No.17) dan UU-RI Dahulu No.8 Tahun 1948 terkait dugaan percobaan pembunuhan, membawa atau menyimpan senjata tajam dan dugaan penganiayaan terhadap saksi korban, Ali Subir.

Menyorot dakwaan dan tuntutan jaksa Parlindungan itu, Gregorius mengatakan, pihaknya menyampaikan kembali pandangan hukum yang obyektif ketika perkara pidana ini diajukan eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa yang obscuur libel (kabur), sebab tidak terdapat kesesuaian antara surat dakwaan dengan pengakuan pelapor/saksi korban, namun eksepsi ditolak majelis hakim di ruang sidang Kartika 2 PN Surabaya Februari lalu.

Perkara ini, jelas Gregorius, telah dilakukan upaya damai secara kekeluargaan antara saksi Masali, paman terdakwa dan saksi korban dan membiayai pengobatan korban sebesar Rp 28 juta sesuai dengan bukti Surat Pernyataan tgl. 5 Oktober 2024 dan surat Perjanjian Perdamaian tgl.6 Oktober 2024 yang dilampirkan dalam pledoi tersebut.

Peristiwa yang diklaim sebagai percobaan pembunuhan terhadap Ali Subir itu terjadi pada 29 September 2024 pukul 04.15 berawal dari bocornya selang aliran bensin sepeda motor milik terdakwa yang secara tak langsung menuduh Ali Subir yang melakukannya, ketika korban duduk santai di pos kamling Jl.Asem Mulya Gg I, Asemrowo Surabaya, yang berada di dekat rumah keduanya.

Terdakwa mencurigai saksi korban duduk di pos kaamling mengintip-ngintip keadaan rumah terdakwa, namun tudingan itu dibantah korban dan dia akan menyalakan kran air rumahnya. Kedua pemuda itu berteman sejak kecil dan bertetangga dekat, lantas Ali Subir masuk rumahnya menuju ke lantai 2.

Mendengar jawaban Ali, terdakwa merasa tak puas dan emosional. Terdakwa pun masuk ke rumahnya dan keluar lagi dengan memegang sebilah clurit di tangan kanan dan sebilah pisau pemotong es di tangan kirinya, langsung mendatangi Ali Subir di lantai 2 yang sedang main HP sambil meminta Ali mengakui perbuatannya, Ali tetap menyatakan tidak mengerti.

Terdakwa PP duduk mendekat ke Ali seraya menyuruh Ali masing-masing tangannya pegang separuh clurit dan pisau tersebut. Kata2 ancaman terlontar dari mulut terdakwa dan Ali tetap mengatakan tidak tau. Kemudian terdakwa berdiri diikuti Ali seraya melepaskan pegangan clurit dan pisau tersebut.

Pada saat sama-sama berdiri itulah, PP, katanya membacok lengan Ali pakai clurit 3 – 4 kali disusul kepalanya bagian atas, dan pisau ditempelkan di leher Ali sambil didorongnya ke belakang dengan ujung pisau itu hingga tenggorokan Ali sakit dan terganggu pernapasannya. Sedikit pun Ali tidak memberikan perlawanan, karena tak menyangka teman semasa kecil berbuat sadis seperti yang dirasakannya itu.

Namun insiden itu, ketika sejumlah saksi fakta yang dihadirkan jaksa Parlindungan Tua Manullang dalam persidangan, tak satupun yang melihat langsung terdakwa membawa clurit dan pisau pemotong es dan membacok korban Ali, tapi tetangga hanya mendengar ada suara gaduh di rumah Ali. Begitu pun ketua RT yang sebelumnya sempat diadukan terdakwa terkait selang aliran bensin motornya ada orang yang mencopotnya, tidak tau ada kejadian pembacokan.

Dalam tuntutan pidananya, jaksa menganggap terdakwa melanggar ketentuan Pasal 338 Jo. Pasal 53 ayat (2) KUHPid. Padahal secara analisis yuridis yang dikupas Gregorius dalam pledoinya menegaskan, jaksa tidak menjabarkan perbuatan terdakwa secara cermat dan mengesampingkan fakta-fakta di persidàngan, karenanya sangatlah nampak keinginan jaksa untuk menjerat terdakwa seakan benar-benar telah melakukan perbuatan seperti yang didakwakan tanpa memperhatikan hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

“Dengan demikian dakwaan jaksa sulit dipertanggungjawabkan secara hukum”, tulis Gergorius dalam pledoinya. Untuk membuktikan perbuatan pidana atau bukan, jelas Gregorius, haruslah dipahami adanya doktrin hukum pidana, yaitu tidak dipidana jika tidak bersalah, sehingga haruslah dibedakan antara perbuatan hukum dan pertanggungjawaban pidana.

Gregorius katakan, perbuatan hukum ada 2 unsur yaitu Kelakuan orang dan Kesalahan orang yang melakukan yang patut dipidana. Hukum pidana, paparnya, berdiri kokoh berdasarkan pada asas legalitas, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHPid dengan unsur perbuatan pidana ditentukan sedemikian rupa oleh aturan undang-undang, tidak boleh melakukan analogi dan hukum pidana tidak boleh retroaktif.

Advokat muda ini pertanyakan, dapatkah penganiayaan berat dihapuskan dengan percobaan pembunuhan? Menurut ia percobaan pembunuhan (pelaksanaan tak tercapai) karena adanya pengunduran diri secara sukarela pelaku dalam menyelesaikan kehendaknya. “Jadi dapat dipahami bahwa bukan merupakan percobaan apabila niat untuk melakukan kejahatan terhapus”, katanya.

Jaksa dalam melakukan tuntutannya, jelas Gregorius, berdasar Fallacy of Law (kesesatan hukum) atas kesimpulan yang dicapai dari penalaran yang tidak sehat dan mengandung kesalahan.

Terkait pelanggaran Pasal 53 KUHP, ungkap Gregorius, ada tiga unsur percobaan, adanya niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksaanaan itu bukan semata-mata dari kehendak sendiri. “Perkara ini seharusnya digolongkan sebagai penganiayaan ringan, bukan percobaan pembunuhan seperti didakwakan oleh jaksa Parlindungan.

Kuasa hukum terdakwa PP ini, memohon kepada majelis hakim dalam menjatuhkan putusan agar terdakwa dibebaskan dari tuntutan pidana, memulihkan hak-hak terdakwa, dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya serta membebankan biaya perkara ini kepada negara.

Laporan: Akariem

Editor: Budi Santoso

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button