Legislator PAN Beberkan Terkait Syariat dan Nilai-nilai Pancasila Dihadapan Warga Desa Cikawungading
Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan atau Empat Pilar MPR RI di GOR Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya, Rabu 16 November 2022 (Foto.dok: san)
TASIKMALAYA, BIDIKNASIONAL.com – Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), M. Hoerudin Amin melakukan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan atau Empat Pilar MPR RI di GOR Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya, Rabu 16 November 2022.
Acara sosialisasi yang diinisiasi Yayasan An Nur tersebut tampak dihadiri tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat diantaranya Bapak Osih dan Bapak Ending.
Dikemukakan Hoerudin, dalam catatan sejarah lima dasar yang oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno diberi nama Pancasila merupakan penyempurnaan dari usulan Mohammad Yamin pada sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Seperti diketahui, sila-sila dalam Pancasila adalah, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dikatakan Hoerudin, nilai-nilai dalam Pancasila adalah kesamaan Maqashid Syariah dalam fiqih Islam. Adapun Maqashid Syariah atau tujuan-tujuan syariah yakni mencapai manfaat dan menghindari kemadharatan atau dalam bahasa arabnya ‘Jalb al-manafi’ wa daf’u al-mafasid’.
“Imam Syatibi merumuskan Maqashid Syariah ke dalam lima unsur, yang disebut Dharuriyat Al Khoms, yakni Memelihara Agama atau Hifdz Ad-Din, Memelihara Jiwa atau Hifdz An-Nafs, Memelihara Akal atau Hifdz Al’Aql, Memelihara Keturunan atau Hifdz An-Nasb, dan Memelihara Harta atau Hifdz Al-Maal,” paparnya dihadapan peserta dan para undangan.
Bahwa intisari dari Pancasila, menurutnya adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan. Begitu pula bahwa intisari dari Pancasila itu selaras dengan Maqashid Syariah, yakni Agama, Jiwa, Keturunan, Akal, dan Harta. Seperti halnya, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan cerminan dari maqashid “Memelihara Agama atau Hifdz Ad-Din.
“Penambahan kata ‘Yang Maha Esa’, dapat dimaknai sebagai tauhidullah, yakni peng-Esa-an Tuhan. Kemanusiaan yang adil dan beradab, mencerminkan maqashid dari Memelihara Jiwa atau Hifdz An-Nafs, serta kalimat ‘Yang Adil dan Beradab’, bermakna tidak hanya keselamatan jiwa, asal hidup, tapi hidup yang berkeadilan dan beradab. Begitu pula Persatuan Indonesia, merupakan cerminan maqashid dari Memelihara Keturunan atau Hifdz An-Nasb,” papar anggota Komisi IV DPR RI dari Dapil Jabar XI yang meliputi Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya ini.
Ditambahkannya, dalam kontek Negara, kalimat Persatuan Indonesia bermakna untuk menjaga keberlangsungan Indonesia, melalui persatuan. Dengan adanya persatuan, maka suatu negara akan terjaga kelanggengannya.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, merupakan cerminan maqashid Memelihara Akal atau Hifdz Al’Aql. Dengan musyawarah, kita sedang memelihara dan menghormati akal masyarakat. Adapun Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cerminan maqashid dari Memelihara Harta atau Hifdz Al-Maal. Dalam kontek negara, yakni menjaga keadilan sosial antara warga,” bebernya.
Terkait dengan hal ini, Hoerudin mengemukakan bahwa syariat sebenarnya memiliki dua makna yakni teologis dan sosiologis. Bagi mereka yang memiliki pola pikir teologis, syariat ini dijadikan sebagai tujuan akhir atau final main dalam menjalani hidup.
“Maka dari itu, wajar apabila syariat didambakan sebagai dasar ideologis dalam konteks kenegaraan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki pola pikir sosiologis, syariat ini dijadikan sebagai tujuan antara atau main in between untuk menyingkap makna kehidupan yang dijalani,” terang Pria kelahiran Garut Selatan ini.
Jadi dalam konteks kenegaraan, lanjutnya, kesadaran praktiknya lebih meletakkan syariat sebagai wilayah komplementer yang bersinergi dengan Pancasila. Dalam hal ini, kemudian muncul teori maqashid syariah. Teori ini juga digadang sebagai metode dan pendekatan internalisasi ajaran Islam yang selaras dengan ajaran lainnya, termasuk Pancasila.
“Apabila ditinjau dari epistemologi, teori tersebut adalah cara kerja ilmiah yang menyingkap maksud dan tujuan besar dari ajaran Islam. Maqashid sendiri secara sederhana dapat dipahami sebagai cara atau metode untuk memahami maksud dan tujuan ajaran agama. Maqashid banyak bermuara pada kepentingan publik, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah.
Sementara itu menurut Jasser Audah dalam karyanya berjudul Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syari’ah, menjelaskan bahwa maqashid syari’ah memosisikan diri sebagai kerangka analisis keagamaan untuk mengkontekstualisasi berbagai spirit ajaran keagamaan yang lebih membumi,” pungkasnya.
Laporan: San
Editor: Budi Santoso