MEDANSUMUT

Begini Kritik Frandy, Atas Saran Jampidsus Hentikan Kasus KJA di Kejati Aceh

Tek foto : Advokat muda lulusan Fakultas Hukum Universitas Jambi, Frandy SeptiyorNababan, S.H.

MEDAN, BIDIKNASIONAL.com – Terkait secara resmi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh hentikan kasus dugaan korupsi Kerambah Jaring Apung (KJA) yang sebelumnya sempat menyita uang senilai 36 Milyar diduga sebagai barang bukti hasil korupsi PT Perinus (anak perusahaan BUMN) yang telah diganti nama perusahaannya dengan Perum Perindo (Perikanan Indonesia). Selasa, (4/1/2022).

Yang mana di sebut Kepala Kejati Aceh melalui Aspidsus Kejati Aceh Raharjo Yusuf Wibisono dalam konferensi pers di Aula Kejati Aceh, mengatakan penghentian kasus dugaan korupsi tersebut atas saran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), tuai kritik dari Advokat muda lulusan Fakultas Hukum Universitas Jambi, Frandy SeptiyorNababan, S.H.

Begini tulisnya yang dikutip Media ini : Tulisan di pagi ini. (Karena baca berita)

“Penghentian penuntutan kasus korupsi”

Pasal 140 KUHAP diatur: “Dalam hal penuntutan umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat dalam surat ketetapan.

Baru saja Jaksa Agung menetapkan penghentian kasus korupsi PT Perinus yang berganti nama PT Perikanan Indonesia (Perindo) pada kasus pengadaan keramba dengan nilai kontrak 45,5 M dan Jaksa RI menyatakan mereka hanya melakukan kesalahan administrasi dan mereka yang terlibat sudah ditindak tegas oleh Kementerian BUMN.

Sebagaimana diketahui bahwa kasus tersebut telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Dengan adanya tersangka adalah karena Jaksa telah mengantongi cukup bukti yang kuat, tapi di tengah perjalanan Jaksa memberhentikan penuntutan dengan menilai peristiwa tersebut hanya karena kesalahan administratif dan bukan perbuatan pidana.
(Kira-kira inilah yang menjadi persoalan dalam penerapan proses hukum acara pidana)

Berdasarkan psal 140 KUHAP diatas memang penghentian penuntutan diberikan peluang, tapi untuk kasus yang “tidak cukup bukti atau peristiwa bukan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum”.

Singkat cerita melalui keterangan pers Kejaksaan bahwa perkara hanya kesalahan administratif dan bukan persoalan pidana. Namun keanehan yang muncul adalah telah adanya “penetapan tersangka”.
Artinya Jaksa telah cukup bukti menerangkan bahwa adanya dugaan tindak pidana.

Tindakan “Plin Plan” ini merupakan suatu preseden buruk bagi institusi kejaksaan yang mana kelihatan tidak profesional, dan lebih parah menciderai kepercayaan publik kepada Kejaksaan dalam menangani perkara korupsi.

Kejaksaan bukan lembaga peradilan tapi pada umumnya adalah lembaga penuntutan. Ketika Kejaksaan telah melakukan penetapan tersangka yang diketahui telah banyak melakukan proses didalamnya, maka seharusnya biarkan saja lembaga peradilan yang menilai apakah hal tersebut perbuatan pidana atau tidak. Karena dalam proses acara bisa saja tim hukum tersangka melakukan eksepsi sebelum masuk dalam pokok perkara dan biarkan hakim yang memutuskan apakah hal tersebut adalah ranah pidana atau bukan.

Sejak lama dalam penanganan kasus korupsi memang selalu ada saja yang menjadi perdebatan yaitu apakah peristiwa hukum tersebut antara “kesalahan administratif atau kesalahan pidana” tapi dari semua perdebatan itu harusnya biarkan pengadilan yang menilai, tanpa dilakukan penghentian penuntutan oleh kejaksaan ketika telah adanya penetapan tersangka.

Ingat analisa yuridis pasal 140 KUHAP, dalam klausulnya ditulis demikian : “,….., menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana”, maka ada kata “atau” didalamnya, artinya apa? Kata penghubung “Atau” merupakan kata untuk “memilih” diantara keduanya.

Sampai disini, maka ketika dalam kasus tersebut telah cukup bukti adanya peristiwa hukum dengan ditandai pleh penetapan tersangka, maka seharusnya gugurlah frasa “peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana”, dalam kata lain ketika sudah terdapat cukup bukti (adanya penetapan tersangka) maka dapat dipastikan hal tersebut adalah tindak pidana”, dan wajib hukumnya penuntutan harus dinaikkan ke pengadilan.

Kenapa demikian (harus naik ke pengadilan) ? Ialah Untuk menghindari sikap “plin plan” (menjaga keprofesionalan jaksa) dan menjaga kepercayaan publik terhadap sikap Kejaksaan dalam Tupoksinya melakukan penuntutan. Jangan sampai ada penafsiran “suka-suka” kalian melakukan mana yang “enak” dilakukan penuntutan.”Opini dan kritik,” tutupnya. (Hs)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button