JATIMSIDOARJO

PN Tipikor Surabaya, Ahli Terdakwa Ari Suyono Fokuskan Ada Tidaknya Unsur Paksaan Dalam Perkara Ini

Persidangan PN Tipikor Surabaya, mengadili terdakwa Ari Suryono. (Foto:ist)

SIDOARJO, BIDIKNASIONAL.com – Dalam lanjutan Persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, terdakwa Ari Suyono dalam perkara pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo hadirkan Ahli pakar hukum pidana, yaitu Dr Bambang Suheryadi dari Unair.

Keterangan dari ahli yang dihadirkan ini menekankan ada atau tidaknya paksaan sebagai faktor penting dalam kasus ini. Menurutnya, itu adalah paling utama diungkap dalam persidangan ini.

’’Kata kuncinya adalah paksaan. Misalnya, terpaksa karena takut dimutasi atau tidak diikutkan diklat,’’ ucap ahli, Senin (26/8/2024).

Bambang Suheryadi menjelaskan, untuk pemerasan dalam pasal 12 huruf e dan huruf f UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan adanya unsur objektif berupa sifat melawan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Pelakunya ini adalah PNS atau penyelenggara negara, yang dilakukan adalah memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, untuk sesuatu bagi dirinya sendiri.

Bambang menambahkan, untuk kata kuncinya dalam perkara ini, ada atau tidaknya paksaan. Misalnya tergerak membayar karena takut dimutasi. Apakah betul-betul ada yang memerintahkan kalau itu sudah masuk rekening pribadi.

Nabila Amir, Penasehat Hukum (PH) Ari Suryono, megatakan apakah meneruskan kebiasaan penyisihan dari atasan-atasan sebelumnya juga bisa dikategorikan paksaan?, saksi-saksi sebelumnya memberikan keterangan bahwa pemotongan insentif ini sudah berlangsung sejak 2014.

Saat Badan Pelayanan Pajak Daerah atau (BPPD) Sidoarjo dikepalai oleh Joko Santosa. Praktik itu berlanjut sampai masa Ari Suryono menjadi kepala BPPD Sidoarjo.

Ahli Bambang Suheryadi menjelaskan, ketika hal itu sudah dilakukan secara berulang-ulang, harus dibuktikan dulu siapa yang memaksa itu. Pemaksaan perlu dibuktikan dari apakah yang dipotong betul-betul takut akan dapat ’’sesuatu’’ dari atasan atau tidak. Misalnya, apakah takut dipindah kalau tidak bayar.

Apakah ada kesepakatan. Kalau tidak itu berarti tidak ada paksaan. Dalam keterangan saksi-saksi pegawai Badan Pelayanan Pajak Daerah atau (BPPD) Sidoarjo mengaku mereka tidak keberatan insentif dipotong karena memang sudah menjadi kebiasaan.

’’Harus dibuktikan memaksa itu bagaimana. Itu melawan hukumnya dengan cara memaksa. Dengan menyalahgunakan kekuasaan,’’ terang Bambang.

PH pun menegaskan lagi, ’’Apakah kebiasaan menyerahkan itu dikategorikan sebagai pemaksaan?’’

Bambang menyatakan, bahwa harus dibuktikan betul apakah ada misalnya rapat untuk menentukan. Dalam rapat disebutkan nilainya ditentukan. Sehingga, yang dipaksa tidak mampu berbuat lain.

’’Apakah dalam rapat ditentukan segini ya segini ya,’’ ungkapnya.

Hakim Athoillah meminta pendapat ahli, ’’Jika tidak ada pemaksaan, tapi ditaruh kitir (kertas kecil berisi nilai potongan) di meja masing-masing dan tidak saling tahu. Apakah masuk kategori pemerasan?’’

Ahli mengatakan, apakah ketika ada pemotongan, kemudian ada pegawai yang dimutasi karena tidak membayar potongan atau tidak diikutkan diklat tertentu. Itu harus dibuktikan.

Jaksa Rikhi Benindo Maghaz mempertanyakan kemungkinan adanya pemaksaan secara psikis. Apakah kekerasan psikis itu dapat diimplemntasikan dalam bentuk patuh dan loyal kepada atasan.

Bambang menjelaskan, selama beberapa kali terjadi pergantian pimpinan, perlu dibuktikan dulu. Apakah pernah terjadi pegawai yang tidak setor atau membayar akhirnya dipindah. Sehingga, yang dipotong tidak mungkin berkata tidak.

’’Dalam penerapan hukum pidana, tidak bisa berkata lain itu masuk unsur (pemaksaan),’’ tegasnya.
Pengacara Nabillah Amir pun bertanya lagi. Kali ini soal tanggung jawab atasan. Di manakah letak tanggung jawab jabatan itu jika uang sudah masuk ke rekening pribadi?

Diberitakan sebelumnya bahwa insentif pegawai BPPD Sidoarjo ditransfer ke rekening masing-masing pegawai. Baru kemudian potongan disetorkan secara tunai. Ada kertas kecil berupa kitir dengan tulisan kecil berisi nilai pemotongan.

Ditanya soal itu, Bambang sekali lagi menandaskan, yang harus dibuktikan dulu adalah pemaksaan itu terjadi atau tidak. Baru setelah itu dimintai pertanggungjawaban. Di situ dibuktikan juga apakah ada penyalahgunaan kekuasaan dan pemaksaan.

Terpisah, Makin Rahmat, tim penasihat hukum Ari Suryono, selepas sidang menjelaskan, selain pembuktian adanya unsur pemaksaan, mens rea (mengharuskan menghukum) atas perbuatannya, yaitu penyalahgunaan kekuasaan. Terbukti, dalam persidangan, uang yang menjadi hak pegawai BPPD sudah diterima terlebih dahulu, kemudian baru ada kesepakatan pemberian shodaqoh.

’’Faktanya, apakah ada pegawai yang tidak membayar atau protes lantas mendapatkan punisment (hukuman), dimutasi, dipersulit mengikuti kenaikan jabatan, seminar atau workshop. Di persidangan tidak ada. Semoga majelis dengan kearifan dan independen dapat memberikan telaah yang obyektif,’’ kata Makin Rahmat. (Ted)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button