
Peserta JKN, Ach Hidayat (24), warga Krembangan, Kota Surabaya (Foto: ist)
SURABAYA, BIDIKNASIONAL.com – BPJS Kesehatan terus berupaya mempermudah akses layanan kesehatan bagi peserta JKN, terutama bagi penderita hemofilia yang menjalani terapi rutin berupa transfusi darah dan pengobatan antihemofilia. Program ini tidak hanya memberikan perlindungan kesehatan, tetapi juga menjamin akses layanan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata tanpa memandang status sosial maupun ekonomi. Salah satu peserta JKN, Ach Hidayat (24), warga Krembangan, Kota Surabaya, merasakan langsung manfaat dari program ini.
“Saya mengidap hemofilia sejak tahun 2002, ketika usia saya masih 2,5 tahun. Saat itu, setelah terjatuh, lutut saya terluka dan mengalami pendarahan hebat yang tak kunjung berhenti. Orang tua saya segera membawa saya ke rumah sakit, dan berdasarkan diagnosis dokter, saya divonis sebagai penderita hemofilia,” tutur Hidayat di Surabaya, Kamis (31/10).
Hidayat mengaku bahwa orang tuanya tidak mampu menanggung biaya pengobatan yang sangat besar. Beruntung, ia terdaftar sebagai peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemda, dengan iuran bulanan yang dibayarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang sehat secara menyeluruh.
“Saya sangat bersyukur dengan adanya Program JKN karena sangat membantu kehidupan saya. Bayangkan, sekali berobat ke rumah sakit, seorang penderita hemofilia seperti saya bisa menghabiskan biaya antara Rp12 juta hingga Rp14 juta. Padahal, kontrol harus dilakukan secara rutin setiap satu minggu sekali,” ujar Hidayat.
Untuk diketahui, Hemofilia adalah kondisi dimana proses pembekuan darah terganggu, sehingga penderita mengalami perdarahan yang berlangsung lebih lama dari biasanya. Kondisi ini terjadi karena darah kekurangan protein yang diperlukan untuk pembekuan. Akibatnya, penderita hemofilia dapat mengalami berbagai bentuk perdarahan, seperti gusi berdarah, mimisan, serta perdarahan atau pembengkakan pada sendi dan otot.
“Pada tahun 2015, saya sering mengalami perdarahan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam setahun, saya bisa beberapa kali menjalani rawat inap, bahkan pernah lima hari berturut-turut diberikan obat injeksi faktor VIII karena kondisi saya tidak kunjung stabil. Bayangkan berapa puluh juta biaya yang harus saya keluarkan jika tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan,” ujar Hidayat.
Dengan memanfaatkan fasilitas Program JKN, para penderita hemofilia dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai tanpa harus khawatir terbebani biaya yang besar. Selama menjalani pengobatan, Hidayat mengaku tidak pernah dikenakan biaya tambahan sepeser pun. Selain itu, meskipun ia terdaftar sebagai peserta JKN segmen PBPU Pemda Pemkot Surabaya, ia tidak pernah merasakan adanya diskriminasi atau perbedaan layanan antara pasien JKN dan pasien umum.
“Soal antrean panjang yang sering dikeluhkan banyak orang, saya sangat memakluminya karena peserta JKN yang membutuhkan pengobatan bukan hanya saya saja. Rasanya tidak pantas jika sudah diberikan pengobatan gratis tetapi masih mengeluh hanya karena menunggu antrean. Seiring berjalannya waktu, Program JKN ini secara umum semakin baik dan mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Bahkan menurut saya, BPJS Kesehatan saat ini sudah melakukan simplifikasi layanan administrasi peserta JKN,” tutur Hidayat.
Hidayat mengaku, saat ini akses layanan kesehatan semakin mudah, tidak seperti dulu. Sekarang, untuk berobat cukup menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), sedangkan dahulu harus membawa fotokopi berbagai dokumen, seperti Kartu Keluarga (KK), KTP, dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), masing-masing tiga rangkap.
“Saya sampaikan rasa terima kasih kepada Pemerintah Kota Surabaya dan BPJS Kesehatan. Melalui Program JKN, hidup saya sangat terbantu. Harapan saya, BPJS Kesehatan dapat terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan Program JKN, sehingga manfaat yang sama bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali,” pungkasnya.
Laporan: rn/md
Editor: Budi Santoso