JATIMKEDIRI

M. Rifai: Praktik Jual Beli Buku Pelajaran di MTsN 2 Kota Kediri, Bentuk Pengabaian Hak Siswa

Daftar harga buku dan Bukti pembayaran

KEDIRI, BIDIKNASIONAL.com – Liputan yang dilakukan oleh tim media ini tentang dugaan praktik penjualan Buku Modul di MTsN 2 Kota Kediri sesungguhnya bukanlah hal yang mengejutkan.

Kasus semacam ini mudah ditemukan pada berbagai tingkat satuan pendidikan di berbagai daerah. Penjualan Modul atau buku pelajaran sejatinya telah dilarang oleh pemerintah, namun larangan tersebut tidak membuat praktik ini benar-benar hilang.

Seperti halnya laporan diterima BIDIK NASIONAL Biro Kediri di MTsN 2 Kota Kediri, diduga kuat siswa dibebankan membeli modul sebesar Rp. 1.630.000,- per siswa, melalui koperasi siswa yang diduga Lembaga meraup keuntungan cukup fantastis.

Saat dikonfirmasi terkait hal ini, Hadi Suseno selaku Kepala MTsN 2 Kota Kediri masih belum terhubung.

Ditempat berbeda M. Rifai selaku Ketua DPD LSM Gerak Indonesia turut angkat bicara. menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 telah melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku teks dan nonteks pelajaran atau pun perlengkapan pembelajaran lain kepada siswa.

“Aturan-aturan tersebut agaknya masih kurang dipahami oleh para pendidik dan peserta didik sehingga praktik jual beli LKS atau buku pelajaran masih kerapkali ditemukan,” terangnya.

Untuk memperkuat aturan tersebut, pemerintah mengatur mekanisme pengadaan buku teks dan nonteks pelajaran di sekolah lewat Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan.

Sekolah harus menyediakan buku teks dan nonteks pelajaran yang digunakan oleh para siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sumber dana pengadaan buku-buku tersebut ditanggung oleh negara melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Masih menurut Rifai, Selain masalah pemahaman terhadap aturan yang minim, terdapat alasan klasik lain seperti materi buku teks pemerintah yang dianggap membingungkan. Bahkan terdapat sejumlah oknum yang ditengarai menjadikan pengadaan LKS di sekolah sebagai proyek untuk meraup keuntungan finansial.

“Hal ini secara tidak langsung menjadikan murid sebagai obyek eksploitasi. Ironisnya, eksploitasi tersebut dilakukan dengan dalih mempermudah siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran” Tuturnya.

● Hak-Hak Siswa Terabaikan

MTsN 2 Kota Kediri

Dipaparkan M. Rifai selaku Ketua DPD LSM Gerak Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan Republik Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak dan dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi. Diskriminasi yang dimaksud di sini juga mencakup diskriminasi secara ekonomi.

Penjualan Modul serta buku pelajaran lain yang biayanya dibebankan kepada siswa jelas bertentangan dengan semangat tersebut. Harga buku-buku tersebut dapat mencapai ratusan ribu rupiah. Tentu saja tidak semua siswa mampu membeli buku-buku itu. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi antara siswa yang mampu dan tidak mampu secara ekonomi dalam mengakses buku penunjang pembelajaran.

Di sisi lain kata M. Rifai, penggunaan LKS juga mengabaikan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

LKS pada umumnya berupa kumpulan-kumpulan soal yang disertai dengan ringkasan materi. Dengan menggunakan LKS, alih-alih mempelajari materi secara lebih mendalam, siswa hanya dilatih untuk mengerjakan soal-soal. Cara belajar semacam ini jelas membunuh kreativitas serta kemampuan berfikir kritis siswa.

Alasan-alasan tersebut menunjukkan dengan jelas jika praktik jual beli buku pelajaran mengakibatkan pengabaian terhadap hak-hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi.

” Guru sebagai Subjek Pendidik
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan selayaknya bertindak tegas dalam mengawasi implementasi Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016,” tegasnya.

Menurutnya, hal tersebut bertujuan agar pelaku praktik jual beli LKS dan buku pelajaran di sekolah dapat ditindak tegas. Akan tetapi, penyelesaian persoalan ini tidak bisa hanya bergantung kepada pemerintah.

Disebutkan M. Rifai, Guru memegang peranan penting dalam menyelesaikan persoalan ini. Guru wajib berkomitmen secara profesional dalam meningkatkan mutu pendidikan. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari perannya sebagai subjek pendidik yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran.

Memang harus diakui bila buku teks yang disediakan oleh pemerintah masih belum ideal dalam menunjang pembelajaran. Sebagai contoh, riset yang dilakukan oleh Wawan Darmawan dan Agus Mulyana tentang buku teks pelajaran sejarah menyatakan jika buku teks yang digunakan di sekolah justru membuat siswa jenuh dalam membaca dan penyajiannya juga terkesan kering. Namun, hal ini tentu tidak dapat dijadikan sebagai dalih untuk membenarkan praktik jual beli LKS dan buku pelajaran di sekolah.

Masih M. Rifai, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru. Pertama, guru harus kreatif dan inovatif dalam menyusun bahan ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Bahan ajar tersebut dapat berupa handout, modul, atau bahan ajar interaktif seperti media audiovisual (film). Dengan menyusun bahan ajar sendiri, guru dapat menyesuaikan materi dengan capaian pembelajaran yang diharapkan. Apabila guru kesulitan untuk membuat bahan ajar secara mandiri, maka pembuatan bahan ajar dapat dilaksanakan secara kolektif melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Kedua, berkaitan dengan penggunaan bahan ajar tersebut, guru dapat memanfaatkan kelas daring seperti Edmodo, Google Classroom, atau Schoology. Penggunaan kelas daring seperti yang telah dicontohkan di atas memiliki sejumlah keunggulan seperti keleluasaan akses materi oleh siswa tanpa dibatasi ruang dan waktu. Selain itu, penggunaan kelas daring dapat meminimalisir biaya karena dapat diakses secara gratis dan siswa tidak perlu terbebani oleh “biaya cetak” sebagaimana bahan ajar konvensional.

Dipenghujung penyampaiannya, M.Rifa’i menambahkan, Guru sudah seharusnya tidak hanya sekadar mengajar apalagi mengeksploitasi siswa secara finansial melalui praktik jual beli buku pelajaran dan LKS. Sebagai subyek pendidik, guru harus mampu melindungi dan memperjuangkan hak-hak siswa. Pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, serta dialogis merupakan hak yang harus didapatkan oleh siswa. Meninggalkan praktik jual-beli buku pelajaran dan LKS merupakan langkah awal untuk memenuhi hak siswa tersebut. (Bersambung edisi depan)

Laporan: Nyoto

Editor: Budi Santoso

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button