KALAH DALAM PILKADA, ADA PIKIRAN ANEH INGIN MERUBAH POSISI POLRI
Penulis: DR Slamet Pribadi, SH, MH.,
JAKARTA – Pemilu itu adalah wadah kegembiraan Masyarakat untuk menentukan putusan hati nuraninya memilih seseorang menjadi pemimpin Negara, atau pemimpin daerahnya, atau memilih perwakilannya. Pemilihan melalui proses panjang, detail dan terkadang melelahkan, adu strategi dan gagasan antara partai yang satu dengan partai yang lain, sebagai jembatan untuk mengimplementasi perasaan politiknya melalui Partai yang diyakini dapat menjadi penyampai aspirasi dari kehendak Rakyat. Yang kemudian ketika Pendidikan politik di kalangan Partai Politik tidak baik-baik saja, beradu program dan gagasan, ada kalanya terwujud sebagai lawan tanding, seperti perang yang sebenarnya, fisik maupun psikis, mengakibatkan terjadinya fitnah, penghinaan, dan intrik-intrik lain. Baik secara fisik, psikis, maupun melalui media sosial.
Yang dipompakan para pimpinan politiknya adalah terus mengalahkan pesaingnya dengan berbagai cara, termasuk cara negatip, bahkan menyerang kearah yang bersifat pribadi seseorang, sampai dengan keluarganya baik garis keatas maupun garis kebawah. Ironis memang, yang semestinya adu gagasan dan program untuk melaksanakan tujuan negara, sebagaimana amanah Pembukaan Konstitusi, namun yang terjadi justru mengarah kepada fitnah dan penurunan harkat dan martabat manusia. Persaingan tersebut diteruskan sebagai dendam kusumat ketila pemilu usai. Meskipun cibiran tokoh politik tersebut tidak begitu dihiraukan oleh Masyarakat, karena Masyarakat sudah cerdas, sudah bisa memilih mana yang cibiran negatip, maupun positip. Yang melaksanakan politik gembira juga banyak, damai, adem, adu gagasa secara positip, para pendukungnya ikut gembira.
Aneh dan lucu di tahun 2024 ini, baik rangkaian pilpres, maupun rangkaian Pilkada, ada elite Partai ketika pernah menang dan berhasil di Pemilu sebelumnya, cenderung diam tidak menyalahkan siapapun atas kemenangan tersebut dan tidak berlanjut sepanjang kekuasaanya. Namun ketika kalah dalam perolehan suara di berbagai wilayah penting, Dimana calonya mengambil dari unsur pensiunan TNI maupun Polri, sementara yang menang adalah Purna Polri, atau yang menang itu bukan dari calon yang di dukung nya, terjadilah Pembangunan narasi narasi kebencian, fitnah, emosial, curiga, menyudutkan atau menyalahkan pihak lain. Termasuk yang dibangun itu adalah narasi yang memojokkan Polri. Kemudian menjadi viral, timbul pro dan kontra. Cara-cara ini memecah belah, seperti praktek politik dimasa lalu, hanya saja ada perbaruan saat ini dengan adanya Tehnologi Informasi, dikemas lebih tampak kekinian. Meskipun cara demikian tidak dipercayai sebagian besar Masyarakat Indonesia, karena cara-caranya tersebut terlalu sering di cuap-cuapkan dan membosankan.
Narasi emosionalnya adalah, yang saya baca dari berbagai Media, medsos maupun suara potcash, kemenangan Calon Kepala Daerah tertentu yang menduga dibantu oleh Parcok (Partai Coklat) yang diduga adalah Polri atau ASN, dan kemudian membuat pernyataan Mereposisi POLRI dibawah TNI atau Kemendagri. Narasi ini sangat menyakitkan mengkhianati perjuangan reformasi 1998.
Perlu diketahui bahwa Pemisahan antara ABRI dan POLRI, memiliki proses sangat Panjang, baik secara politis maupun yuridis yang luar biasa, bahkan menurut buku Proses hukum Pemisahan Polri dari ABRI serta UU Polri, yang ditulis oleh Irjen Pol (P) Drs Hari Soenanto, tulisan ini merupakan catatan beliau pelaku Sejarah pemisahan ABRI dan POLRI, disebutkan beliau soal Pemisahan tersebut adalah “sebuah perjuangan yang tak kenal lelah menghadapi situasi dan kondisi Polri saat itu”. Menurut saya Permisahan ABRI dan POLRI tsb merupakan buah dari perjuangan Reformasi di segala bidang, jadi Pemisahan ABRI dan POLRI tersebut adalah anak kandung dari Reformasi pada tahun 1998.
Menurut buku diatas, pemisahan teersebut diawali dengan Pidato Presiden RI Soeharto, pada saat Hari ABRI tanggal 5 Oktober 1997, dilanjutkan dengan adanya Inpres no 2 / 1999, tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara RI, ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie. Diteruskan dengan terbitnya Kepres no 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara RI, yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Juli 2000. Setelah itu Terbit Tap MPR no VI/MPR/2000, tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI, yang diandatangani oleh Ketua MPR Prof. Dr. HM Amien Rais dan para Wakil Ketua Lainnya, pada tanggal 18 Agustus 2000, dilanjutkan dengan terbitnya Tap MPR no VII/MPR/2000, tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, pada tanggal 18 Agustus 2000, datandatangani oleh Pejabat MPR yang sama. Setelah itu terbitlah UU nomor 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Januari 2002, diandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Menurut saya Pemisahan TNI dan POLRI tersebut tidak bisa di klaim oleh satu presiden saja, melainkan merupakan satu rangkaian kisah berseri berkesinambungan di mulai dari Presiden Suharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurahman Wahid sampai dengan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kalau boleh saya ibaratkan bagaikan disambar petir, sungguh sangat menyakitkan, ketika suatu partai ketika menderita kekalahan di dalam Pilkada langsung berpendapat ingin mengembalikan POLRI bergabung dengan TNI atau atau dibawah Mendagri. Bagaimana mungkin intelektual berpikir aneh seperti itu, penuh nafsu dan emosi, dia pikir mengelola negara seperi membalikkan telapak tangan, dan ini sebuah penghianatan terhadap amanah Reformasi di segala bidang.
Secara normal tidaklah mungkin memundurkan jarum jam. Dan kemudian memframing rasa kebencian kepada Polisi. Bersyukurlah sebagian besar masyarakat menolak, 7 dari 8 fraksi menolak, mendagri juga menolak. Secara pribadi saya juga sangat menolak.
*ISI NASKAH TANGGUNG JAWAB PENULIS*