SIDOARJO, BIDIKNASIONAL.com – Sebelum bernama Sidoarjo, daerah yang dikenal penghasil Udang dan Bandeng ini dulunya bernama Sidokare. Sidokare saat itu masih menjadi bagian dari Surabaya. Tahun 1859 Pemerintah Hindia Belanda dengan keputusannya Nomor 9 Tahun 1859, tanggal 31 Januari 1859 Staatblad Nomor 6 tertulis Kadipaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian daerah yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.
Karena nama Sidokare dianggap memiliki konotasi yang kurang baik, akhirnya oleh Bupati Pertama Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro diusulkan perubahan nama baru, dari Sidhokarie (Sidokare) menjadi Sidho-Ardjo (Sidoarjo). Penetapan perubahan itu tertuang dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1859 No. 10 Staadblad Tahun 1859 Nomor 32.
“Dokumen staadblad itu sampai sekarang masih tersimpan rapi di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sidoarjo,” ujar M. Wildan Plt. Kabid Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Sidoarjo. Jum’at, (8/4/2022).
Bupati Pertama Sidoarjo dijabat oleh Raden Notopuro yang bergelar Raden Tumenggung Panji (R.T.P) Tjokronegoro I bertempat tinggal di kampung Pandean kelurahan Kauman, Kecamatan Sidoarjo. Ia menjabat mulai tahun 1859 – 1863 Masehi. Kampung ini sekarang dikenal dengan kuliner kolak Srikaya yang rasanya manis dan hanya bisa dijumpai di bulan ramadhan saja.
“Makanan khas ramadhan warga Pandean Kauman ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Menjelang sore sebelum berbuka puasa, kawasan kota tua ini ramai orang ngabuburit, salah satu yang jadi buruan yakni kolak Srikaya,” kata Wildan.
Di kawasan kota tua ini, Tjokronegoro tinggal bersama keluarganya. Tahun 1859, kawasan Pandean menjadi tempat pusatnya perdagangan dan pemerintahan selama kurang lebih tiga tahun. Diperkirakan, tahun 1862 Bupati Tjokronegoro memindahan pusat pemerintahan ke kampung Wates, kelurahan Pucang. Saat berada di Pandean, Tjokronegoro sempat merenovasi bangunan Masjid Jami Al Abror.
Menurut dari cerita masyarakat sekitar, masih kata Wildan, Bupati Tjokronegoro tinggal di rumah yang lokasinya berada di pinggir Jalan Raya Gajah Mada, menghadap ke arah timur. Ada beberapa sumber yang menyebut, Toko Kain BIMA adalah bekas rumah dinas Bupati Pertama Kabupaten Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro I. “Bangunan itu sampai sekarang masih ada dan masih terjaga keasliannya,” kata Wildan.
“Sabtu 9 April besok, warga Sidoarjo bisa jalan-jalan menikmatis suasana Tempo Doeloe di acara Gajah Mada Street Night yang digagas oleh Bupati Gus Muhdlor,” imbuhnya.
Kawasan kota tua ini kemudian menjadi identitas Sidoarjo Tempo Doeloe, selain karena usia kampungnya yang tua, daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sidoarjo yang pertama di tahun 1859 – 1861. Bangunan-bangunan tua di kampung Pandean kelurahan Kauman rata-rata bergaya kolonial Belanda.
Di kampung kolak Srikaya ini masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang yang usianya bahkan ada yang lebih dari 300 tahun. Seperti, Masjid Jami Al Abror yang dibangun pada tahun 1678. Jika dihitung, salah satu masjid paling tua di Sidoarjo itu sekarang sudah berusia 344 Tahun.
Masjid yang tidak pernah sepi dari aktivitas dakwah ini sudah mengalami beberapa kali renovasi dan masih menyisakan warisan sejarah dan budaya berupa gapura kuno yang berfungsi sebagai pintu masuk masjid di sisi sebelah utara.
Berdirinya Masjid Al Abror tidak bisa lepas dari keberadaan Mbah Muljadi, seorang tokoh ulama dari Demak, Jawa Tengah yang diyakini warga sekitar merupakan pendiri Masjid Al Abror. Dalam pembangunannya, Mbah Muljadi dibantu tiga orang warga sekitar, yakni Mbah Sayyid Salim, Mbah Musa dan Mbah Badriyah. Keempat tokoh itu dimakamkan di sebelah baratnya Masjid Jami Al Abror. Menjelang ramadhan masyarakat sekitar banyak yang berziarah ke makamnya.
Selain seorang ulama, Mbah Muljadi juga diyakini merupakan orang pertama yang mengajarkan pembuatan batik tulis kepada warga Kampung Jetis Kelurahan Lemah Putro. Batik tulis Jetis diperkirakan mulai ada sekitar tahun 1675, usianya sudah 347 tahun, lebih tua dari usia masjid Jami Al Abror. Di kampung ini masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang usianya diperkirakan lebih dari 1 abad.
Tahun 2013, Mahasiswa Program Magister Sipil Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, yakni Rifky Aldilan bersama dengan dua kawannya, Antariksa dan Chistia Meidiana meneliti bangunan-bangunan kuno yang berdiri di sepanjang Jalan Gajah Mada. Dalam penelitian itu, Rifky membaginya dalam tiga kelompok bangunan kuno. Yakni kelompok bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi, sedang dan rendah.
Rifky dkk mencatat ada 39 bangunan kuno di sepajang Jalan Gajah Mada Sidoarjo. Dari jumlah itu, terdapat 5 bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi yaitu Masjid Jami Al Abror, Toko Kain BIMA, Home Industri dan 2 Rumah Tinggal.
Kemudian, terdapat 10 bangunan kuno yang memiliki makna kultural potensial sedang, yaitu Toko Jam Cahaya Terang, Toko Sami Hasil, Mebel Lancar, Toko Rejo, Toko Pakaian dan beberapa bangunan kosong.
Sisanya sebanyak 24 bangunan masuk dalam kelompok kultural potensial rendah. Diantaranya, Toko Lambang Jaya, Toko Gajah Mada Gordyn, Toko Mia Ayam Chandra, Apotek Pangestu, Apotek Sidoarjo, Optik Internasional, Toko Air Mancur, Bengkel Garuda, Pusat Gadai, Toko Sumber Jaya dan lainnya rumah tinggal dan bangunan kosong.
“Penilaian makna kultural bangunan kuno tersebut bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi bangunan yang nanti menjadi dasar bagi penentuan bentuk pelestarian untuk setiap bangunannya,” tulis Rifky dkk di dalam penelitiannya yang berjudul Karateristik Bangunan Kuno di Koridor Jalan Gajah Mada Sidoarjo.
Selain di sepanjang Jalan Gajah Mada, bangunan kuno juga banyak dijumpai di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Jalan Hang Tuah dan Jalan Raden Patah.
“Diperkirakan ada ratusan bangunan kuno yang tersebar di kawasan kota tua ini,” jelas Wildan. (yah)