Haerudin Menilai Pancasila tak Beda Dengan Layang Serat Jamus Kalimasada
GARUT, JABAR BN – Anggota DPR/MPR RI, Haerudin S.Ag. MH mengatakan Pancasila tak beda dengan Layang Serat Jamus Kalimasada. Ia mengilustrasikan kesamaan tersebut dikarenakan Pancasila dan Kalimasada satu sama lain sama-sama mengandung nilai dan kekuatan atau ajaran yang patut diejawantahkan dalam kehidupan. Lebih dari itu, keduanya bagian dari sebuah pusaka yang perlu dikeramatkan dan bahkan bisa menjadi obat mujarab.Â
Hal tersebut disampaikannya dihadapan peserta sosialisasi empat pilar yang berlangsung di Masjid Pondok Pesantren (Ponpes) Bani Tamami yang berlokasi di Kamoung Jati Desa Cikembulan Kadungora Garut, Sabtu (7/12/2019).
Dijelaskan legislator Fraksi Partai Amanat Nasional ini, serat Jamus Kalimasada adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa dalam hal ini Yudistira, seorang pemimpin para Pandawa. Pusaka ini, lanjutnya berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta.
Di lain itu, sambungnya, sebagian pendapat juga ada yang mengatakan bahwa istilah Kalimasada berasal dari kata Kalimat Syahadat, yaitu sebuah kalimat utama dalam agama Islam.Â
“Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya Tuhan yang tunggal, serta Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya,” ungkapnya.
Menurut pendapat tersebut, dituturkannya, istilah Kalimasada diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-16. Bahwa konon, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.
“Ada pendapat lain pula yang mengatakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, istilah Kalimasada sudah dikenal dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Dr. Kuntara Wiryamartana, SJ. Istilah Kalimasada bukan berasal dari kata Kalimat Syahadat, melainkan berasal dari kata Kalimahosaddha,” bebernya.
Diungkapkan Haerudin, istilah Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut jika dipilah menjadi Kali-Maha-Usaddha, yang bermakna “obat mujarab Dewi Kali”.
“Begitu pula dengan Pancasila, yang merupakan hasil dari salah satu kesepakatan berbangsa dalam Negara Republik Indonesia. Pancasila adalah serat atau tulisan yg berisi kesepakatan dan keputusan politik di BPUPKI dan PPKI saat itu,” katanya.
Maka itu, Haerudin menilai Pancasila bagian dari sebuah proses politik yang sangat monumental bahkan menjadi pangkal dan dasar bernegara bagi warga negara. Selanjutnya, Pancasila berproses menjadi falsafah negara ideologi negara bahkan ada juga yang menyebut bahwa pancasila sebagai sebuah sistem etika, hingga kemudian Pancasila menjadi sebuah tujuan bernegara atau state side.
“Dikisahkan bahwa negara Amartha menjadi negara Adidaya nan sejahtera di bawah pemimpin shaleh yang sepanjang hidupnya hanya satu kali berdusta. Ia adalah Raja Puntadewa sering juga disebut prabu Darma Kusuma. Raja bersama dengan 4 adiknya bahu membahu membangun negara di bawah bimbingan Batara Kresna dan Semar Sang Pawongan yang setia,” urai anggota Komisi IV ini.
Masih dalam negara Amartha, disebutkan para pemimpin Amartha sangat berpegang teguh pada serat Kalimasada sehingga dengan prinsif dan keyakinan yang dimiliki tersebut akhirnya jadilah Amartha sebagai negara adidaya, yang adil makmur nan sentosa.
“Jika para pemimpin negara Republik Indonesia menjadikan Pancasila seperti serat kalimasada serta dijadikan acuan, maka tidak mustahil kita juga akan sampai pada saat yang berbahagia yang menghantarkan ke tujuan kemerdekaan yaitu negara berdaulat adil dan makmur,” harapnya.
Acara sosialisasi yang digagas Yayasan Bani Tamami ini dihadiri Kades Cikembulan Dede Ahmad Kosasih, SH, BPD Desa Cikembulan Siti Sohipah, Ketua PPRI Kab. Garut H. Solihin tak ketinggalan juga Ketua Yayasan Bani Tamami Ust. Ucu Ahmad Saeful Bahri. (San/Red)