LSM GMBI Kab Pekalongan Soroti Maraknya Jual Beli LKS di Sekolah
Kabid Dikdas Pekalongan Ipung Sunaryo saat dikonfirmasi bidiknasional.com di kantor kerjanya (dok: Dikin BN.com)
PEKALONGAN, BIDIKNASIONAL.com –Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.
Pada Undang-Undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur Sistem Perbukuan, tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.
Karena maraknya peredaran penjualan buku di sekolah SD dan SMP Negeri, media bidiknasional.com (bn.com) konfirmasi ke Kabid Pendidikan Dasar (Dikdas) Kabupaten Pekalongan, Ipung Sunaryo. Ia menjelaskan bahwasannya Dinas Pendidikan sudah melarang penjualan buku LKS sejak bulan 30 Agustus tahun 2022 dan menunjukkan surat edaran tersebut dihpnya.
“Yang jelas Dinas Pendidikan sudah mengeluarkan surat edaran larangan untuk penjualan buku LKS sejak 30 Agustus 2022,” tutur Kabid DikDas Ipung, Selasa, ditemui di kantor kerjanya (31/10/23).
Sementara ketua LSM GMBI Kabupaten Pekalongan, Agus Subekti, mengatakan, Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) tidak boleh diperjual belikan karena sudah disubsidi pemerintah.
“Buku pegangan siswa dari sekolah diberikan secara gratis, karena disubsidi pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional (BOS). Buku Lembar Kerja Siswa (LKS) tidak boleh dijual kepada siswa karena jelas diatur undang-undang,” terang Agus Subekti ketua LSM GMBI Kabupaten Pekalongan, Selasa (28/11/2023).
Ia pun menjelaskan buku LKS tidak diperjual belikan di sekolah. Siswa berhak membeli LKS, namun tidak di sekolah. Orangtua siswa beli LKS di toko buku atau pameran.
“Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan. Penjualan buku teks pendamping dan buku nonteks dilakukan melalui Toko Buku dan atau sarana lain,” tambahnya.
Agus Subekti menyampaikan Permendiknas No 2 tahun 2008 tentang Perbukuan. Pasal (1) angka 10 “toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang lengkapnya berbunyi “Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir. Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir.
“Marak Penjualan buku, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) terjadi setiap tahun, bahkan setiap berganti semester. Walau dikatakan tidak wajib, namun para murid mau tidak mau harus membeli karena banyak tugas yang diberikan lewat LKS tersebut,” geram Agus Subekti.
Lanjut Agus Subekti, masih banyak Sekolah yang melakukan penjualan buku LKS melalui Koperasi. Ragam dalih pun bermacam-macam, salah satunya untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, sebagai pendamping, atau referensi pengetahuan bagi anak didik. Hal ini terkadang menjadi pembenaran, tanpa mengindahkan peraturan yang sudah jelas melarangnya.
“Menyoal tentang pernyataan Kabid Dikdas Ipung Sunaryo bahwa adanya praktik jual beli LKS atau seragam.Dinas Pendidikan sudah melakukan edaran pelarangan, kenyataannya dilapangan menjamur bos jangan pura-pura tidak tau atau tutup mata dan lepas tanggung jawab,” katanya.
Ia menegaskan di pasal itu jelas tertulis, Komite Sekolah, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.
“Jual beli seragam buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi, dapat dikategorikan sebagai tindakan Pungutan Liar atau Pungli, yang dapat dikenakan sanksi pidana bagi pelakunya.Praktik jual beli seragam, buku hingga LKS yang dilakukan sekolah maupun komite sekolah sebagai bagian dari tindakan Pungli. Sebab, hal itu menjadi ranah penegak hukum,” tutupnya.
R (45) wali murid menunjukkan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) yang dibelinya di SMP Negeri 1 Tirto (dok: Dikin BN.com)
Terpisah, orang tua murid sebut saja R (45) di SMP Negeri 1 Tirto Pekalongan mengeluh dengan adanya pembelian buku Lembar Kerja Siswa (LKS). Meski tidak ada kewajiban membeli buku tersebut, namun mempengaruhi siswa lainnya yang tidak mampu untuk ikut-ikutan membeli.
“Memang untuk sifatnya tidak wajib, tidak beli tidak apa-apa. Tapi kalau tidak beli, ya anak saya pasti malu soalnya murid yang lain pada beli,” ujar R (45) orang tua murid yang menolak diungkap identitasnya, Selasa (28/11/23).
Ia menyebut bahwa sebelumnya sudah ada beberapa siswa membeli buku LKS lalu anaknya merengek meminta dibelikan buku yang sama dengan temannya. Anaknya malu belum punya buku LKS seperti temannya.
Diungkapkannya bahwa buku LKS itu tidak ada dalam musyawarah dengan orang tua murid saat pendaftaran atau anak masih kelas 1.
“Anak saya minta dibelikan buku LKS setelah melihat temannya beli.Dengan harga masing-masing Rp 13 ribu,” keluhnya.
Perlu diketahui Sukamto Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Tirto Pekalongan dihubungi melalui WhatsApp tidak merespon, setelah beberapa jam membalas bahwa dirinya sedang diluar kota.
“Saya di Solo, nanti Senin bisa bertemu dikantor makasih,” ujar Sukamto Kepala Sekolah SMP negeri 1 Tirto Pekalongan,Selasa (28/11/2023).
Laporan: Dikin
Editor: Budi Santoso