SIDOARJO, BIDIKNASIONAL.com – Menjamurnya rumah ibadah masjid dan mushola serta pesantren di kota Delta menunjukkan bahwa Islam menjadi agama mayoritas yang dianut warga Sidoarjo. Tahun 2018 masjid yang ada di Sidoarjo jumlahnya mencapai 1.143 masjid, ini belum termasuk bangunan mushola atau langgar jumlahnya mencapai ribuan, tepatnya 4.492 mushola (BPS 2018). Sedangkan jumlah pendidikan pesantren mencapai 98 pesantren yang tersebar di 18 kecamatan (BPS 2020). Sedangkan jumlah gereja ada 32 bangunan , Pura ada 4 bangunan dan Klenteng ada 2 bangunan (BPS 2018).
Masih dari data BPS tahun 2020 mencatat jumlah santri yang belajar di pondok pesantren di Kabupaten Sidoarjo totalnya mencapai 14.992 santri. Santri tersebut tidak hanya berasal dari Sidoarjo saja, banyak juga yang berasal dari luar kota, seperti Gresik, Pasuruan, Madura, Kediri dan kota lainnya di Jawa Timur.
Pada abad 18-19 Sidoarjo mencapai puncak keemasannya dalam bidang pendidikan Islam. Sidoarjo menjadi salah satu pusat pendidikan Islam khususnya di Jawa Timur, di zaman itu Sidoarjo dikenal sebagai kota santri. Sebab di era itu banyak tokoh-tokoh penting seperti KH. Hasyim Ashari pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama tercatat pernah menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Sidoarjo.
Mbah Hasyim (KH Hasyim Asy’ari) pernah mondok (nyantri) di Pesantren Sono Buduran sebelum beliau kemudian melanjutkan perjalanan mondok di Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Selain Mbah Hasyim, yang pernah belajar mendalami Islam di Pesantren Sono Buduran diantaranya KH. Abdul Karim (Mbah Manab) pendiri Pesantren Lirboyo Kediri, KH. Djazuli Utsman Pendiri Pesantren Al Falah Ploso Kediri dan sejumlah ulama lainnya.
Lalu mulai kapan Islam masuk di bumi Jenggolo ini? Nama Jenggolo sudah mafhum dengan penyebutan Sidoarjo, sebab masyarakat meyakini bahwa Kerajaan Jenggolo dulu pusatnya berada di wilayah Sidoarjo.
Untuk memastikan kapan dan tahun berapa ajaran Islam mulai dikenalkan ke masyarakat Sidoarjo? Menjawab pertanyaan ini tentunya membutuhkan penelitian yang didukung dengan alat bukti, seperti prasasti atau peninggalan-peninggalan yang ada. Diantaranya seperti mencari keberadaan masjid-masjid tua atau prasasti lain yang mendukung bukti awal mula masuknya Islam ke Sidoarjo.
Sebetulnya nama Sidoarjo baru lahir pada 31 Januari 1859 dengan nama Sidokare yang kemudian nama itu diubah menjadi nama Sidoarjo. Sebelum itu, Sidoarjo merupakan wilayah Surabaya dengan di bawah pemerintahan kolonial hindia belanda.
Menyusuri jejak Islam di Sidoarjo, daerah yang dikenal penghasil udang dan bandeng ini tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan masuknya Islam ke Surabaya, yakni Ampel Denta. Dari koordinat ini perjalanan menyusuri jejak Islam kota Delta akan dimulai.
Kepala Bidang Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Pemkab Sidoarjo Muhammad Wildan mencoba membuka referensi yang ia miliki. Alumni jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu mengumpulkan sejumlah informasi maupun mencari bukti peninggalan-peninggalan yang ada di Sidoarjo.
Salah satunya adalah Masjid Jami’ Al Abror yang lokasinya berada di kota tua Kauman Sidoarjo. Masjid yang diyakini warga sekitar berdiri tahun 1678 itu dipercaya merupakan masjid paling tua di Sidoarjo. Bukti tersebut didasarkan pada ditemukannya angka tahun 1678 saat dilakukan renovasi.
Namun, Wildan masih belum sepenuhnya meyakini kalau Masjid Jami’ Al Abror Kauman adalah masjid pertama dan paling tua di Sidoarjo.
“Bila melihat perjalanan masuknya Islam ke Surabaya yang dibawa oleh Raden Ali Rahmatullah yaitu Sunan Ampel yang buktikan dengan keberadaan bangunan Masjid Ampel dan makam Sunan Ampel di kawasan Ampel Denta. Masjid Ampel berdiri tahun 1421 masehi, sedangkan Masjid Jami’ Al Abror Kauman berdiri tahun 1678 masehi. Ada selisih 257 tahun antara berdirinya Masjid Ampel dengan Masjid Jami’ Al Abror. Sedangkan Sidoarjo sendiri saat itu termasuk kawasan Surabaya yang jaraknya tidak jauh dari kawasan Ampel Denta. Dari selisih dua ratus lima puluhan tahun itu masih ada kemungkinan ditemukannya masjid yang lebih tua dari Masjid Jami’ Al Abror Kauman Sidoarjo,” tutur Wildan, (Selasa,3/6/2024).
Wildan yang sudah lama menekuni bidang sejarah dan budaya itu terdorong untuk menggali lebih jauh tentang perjalanan masuknya Islam di Kabupaten Sidoarjo. Menurutnya ada hipotesis yang penting untuk disodorkan ke publik.
Pertama, Apakah Islam masuk ke Sidoarjo sesudah atau sebelum Sunan Ampel datang ke Surabaya? Jika melihat situs Masjid yang paling tua saat ini adalah Masjid Sunan Ampel maka jawaban sementara adalah masuknya Islam ke Sidoarjo setelah kedatangan Sunan Ampel ke Ampel Denta Surabaya.
Kedua, Lewat jalur mana Islam masuk ke Sidoarjo, apakah lewat wilayah utara, yakni wilayah Kecamatan Taman yang berbatasan langsung dengan Surabaya, ataukah lewat wilayah Kecamatan Tarik yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Mojokerto? Mengingat Mojokerto adalah pusatnya kerajaan Majapahit yang sebelum Sunan Ampel datang ke Surabaya, di Mojokerto sudah ada sesepuh Wali Songo yakni Syekh Jumadil Kubro yang makamnya berada di komplek Makam Troloyo. Ataukah Islam mulai masuk ke Sidoarjo langsung ke pusat kota melalui dakwah keturunan Nabi Muhammad SAW yang tinggal di kampung Kauman. Disana berdiri Masjid Jami’ Al Abror, dan di belakang Masjid tersebut ada makam tua dengan nama Sayyid Salim yang diyakini merupakan salah satu pendiri Masjid Jami’ Al Abror, (Sayyid merupakan penyebutan bagi keturunan Nabi Muhammad dari jalur Sayyidina Husain bin Ali).
Kemudian untuk jawaban hipotesis yang kedua yakni bila melihat prasasti masjid yang paling tua di Sidoarjo saat ini yakni Masjid Jami’ Al Abror yang berdiri tahun 1678 masehi, maka Islam masuk ke Sidoarjo langsung ke pusat kota yakni Kauman, karena sampai saat ini belum dijumpai masjid lain di Sidoarjo yang usianya lebih tua dari Masjid Jami’ Al Abror.
“Saya kira ini yang akan kami telusuri, jelas ini tidak mudah karena minimnya prasasti yang disertai dengan penanda seperti misalnya tertulis tahun atau semacamnya. Selain mendatangi objek atau situ-situs seperti masjid-masjid tua dan makam – makam tua, yang akan kita lakukan nanti juga mencari literasi serta wawancara langsung dengan sejumlah tokoh yang paham tentang sejarah Islam di nusantara, khususnya kawasan Surabaya dan Gresik yang memiliki jejak Islam beririsan,” jelas Wildan.
Laporan: yah
Editor: Budi Santoso