
BANDUNG, BIDIKNASIONAL.com – Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) mendorong pemerintah agar dapat merevisi tiga regulasi yang berdampak dan mengakibatkan terseok-seoknya Perusahaan air minum daerah (PDAM) atau BUMD air minum (AM) dalam mengejar target utamanya yakni meningkatkan cakupan layanan air minum perpipaan dari 22 persen (2024) menjadi 40 persen pada tahun 2029. Diantara tiga regulasi dimaksud adalah Permen PUPR No. 3/2023, Permen ESDM No. 14/2024 serta PP No. 5/2021.
Di sisi lain, Presiden RI Prabowo Subianto sendiri telah menetapkan misi Asta Cita yang antara lain mencakup target ambisius terkait akses air minum aman. Salah satu target utamanya adalah meningkatkan cakupan layanan air minum perpipaan dari 22 persen (2024) menjadi 40 persen pada tahun 2029. Namun, justru Perpamsi memandang ada tantangan besar menghadang dalam mencapai target tersebut.
Jika pencapaian 22 persen sekarang ini memakan waktu lebih dari 70 tahun, maka mengejar tambahan 18 persen dalam lima tahun membutuhkan kecepatan luar biasa.
PDAM atau BUMD air minum (AM) bukan hanya dituntut harus berjalan cepat, tetapi harus “berlari.” Namun sayangnya, jangankan berlari, berjalan pun PDAM/BUMD AM masih terseok-seok karena berbagai tantangan.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Perpamsi Dr. Subekti didampingi Tenaga Ahli Perpamsi Ir Agus Sunara dalam Press Conference Pengurus Pusat Perpamsi di Harris Hotel & Convention Festival Citylink Bandung, Jl. Peta Bandung, Kamis, 13 Februari 2025.
Subekti menilai, tantangan ini, seperti fenomena puncak gunung es. Persoalan yang mengemuka tidak lebih besar dari persoalan yang berada di bawah permukaan seperti tarif belum full cost recovery (FCR), angka kehilangan air atau non-revenue water (NRW) yang tinggi, kurangnya ketersediaan sumber air, pencemaran sumber air baku, perubahan iklim, dll.
Tantangan Regulasi
Sedikitnya ada tiga produk hukum yang memberatkan langkah BUMD AM untuk mengejar angka 40 persen tersebut. Padahal, tanpa tali pengikat ini, BUMD AM masih harus berjuang menghadapi tantangan eksternal.
1. Permen PUPR No. 3/2023
Permen ini mengatur tata cara perizinan sumber daya air, tetapi memberikan sanksi administratif yang berlaku surut sejak 1 November 2019. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku umum di Indonesia.
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, peraturan yang membebankan denda atau pajak tidak boleh berlaku surut. Namun, Permen ini justru menghitung pelanggaran sejak 2019 tanpa dasar hukum yang jelas. Padahal usaha yang dijalankan oleh PDAM merupakan urusan wajib Pemda dalam memberikan pelayanan dasar air bersih/minum untuk masyarakat.
Dampaknya sangat besar. Hampir sebagian besar BUMD AM di Indonesia yang saat ini berjumlah total 434 operator penyedia layanan air minum perpipaan yang berbentuk Perumda 278, Perseroda 9, PDAM 137, UPTD 8, dan BLUD 2, kesulitan atas denda administratif ini.
“Sebagai contoh, Perumdam Tirta Perwira Kabupaten Purbalingga harus membayar denda sebesar Rp9,6 miliar pada Desember 2024. Pun beberapa BUMD AM lainnya seperti Perumdam Kabupaten Kotawaringin Barat, Perumdam Kabupaten Tanah Toraja, PDAM Kabupaten Bireun dll. Kondisi ini sangat memberatkan keuangan BUMD AM, menghambat investasi, dan bertentangan dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto,” bebernya.
Begitu pula regulasi terkait denda administratif yang berlaku saat ini memiliki sejumlah masalah mendasar.
Pertama, denda yang dikenakan berlaku surut hingga 1 November 2019. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, seperti yang diatur dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pemberlakuan surut hanya dapat diterapkan pada kasus tertentu, seperti pelanggaran HAM berat atau tindak pidana korupsi. Dalam konteks BUMD AM, penerapan ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga membebani perusahaan yang sudah beroperasi dalam kondisi sulit,” tegasnya.
Kedua, formula perhitungan denda administratif yang digunakan dalam Permen PUPR tidak sejalan dengan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. UU ini mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai denda administratif melalui Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri.
PP Nomor 30 Tahun 2024, yang seharusnya menjadi dasar penghitungan denda, baru diterbitkan setelah BUMD AM mulai dikenakan sanksi berdasarkan Permen PUPR.
“Inkonsistensi ini menimbulkan kerancuan hukum dan memperburuk situasi,” jelasnya.
Sementara Prof. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret (UNS), menyoroti bahwa perizinan yang berlaku surut seperti ini melanggar asas nonretroaktif.
Dalam sebuah forum diskusi di Indonesia Water Forum (IWF) 2024 Perpamsi, ia menegaskan bahwa aturan yang berlaku mundur hanya diperbolehkan untuk kasus-kasus khusus seperti terorisme, korupsi, dan HAM.
Untuk kasus lainnya, termasuk pengelolaan air, hal ini tidak dapat diterima. “BUMD air minum adalah perpanjangan tangan pemerintah dalam memenuhi kewajiban sosial, sehingga perizinan tidak boleh dipersulit,” ujarnya.
2. Permen ESDM No. 14/2024
Sementara di Permen ini menghilangkan kewajiban swasta untuk mendapatkan rekomendasi dari BUMD AM sebelum melakukan pengeboran air tanah. Akibatnya, BUMD AM kehilangan kontrol atas sumber daya yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.
“Hal ini juga membuka peluang bagi eksploitasi air tanah yang tidak terkendali dan menyebabkan potensi naiknya muka air laut. Serta akan mengurangi pemanfaatan aset SPAM eksisting dan potensi disinsentif terhadap program Presiden Prabowo,” kata Subekti.
Apalagi, praktik pengeboran ini tidak hanya mengancam keberlanjutan sumber daya air, tetapi juga merusak struktur tanah. Dalam jangka panjang, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat luas, terutama di wilayah perkotaan yang bergantung pada air tanah sebagai sumber utama.
“Jadi, pada hakikatnya, penghilangan syarat rekomendasi BUMD AM ini menghilangkan kesempatan pemerintah untuk melayani lebih banyak masyarakat yang membutuhkan air bersih,” tambahnya.
Dampak dari ekplorasi air tanah yang berlebihan sudah terjadi penurunan permukaan air tanah, yang berakibat pada intrusi air laut di beberapa daerah pesisir Tanah Air. Dampak lainnya adalah terjadinya penurunan kualitas air tanah.
3. PP No. 5/2021
Pembatasan pengambilan air hingga 20% dari potensi mata air yang tersedia sebagaimana diatur dalam PP 5/2021 turut menambah beban operasional BUMD AM.
“Batasan ini tidak memperhitungkan kebutuhan riil masyarakat, khususnya di daerah yang sangat bergantung pada layanan air bersih perpipaan. Akibatnya, pelayanan kepada masyarakat terancam terganggu,” ujarnya.
Selain itu, sambungnya, proses perizinan melalui Online Single Submission (OSS) sering kali terkendala kelengkapan dokumen, terutama untuk aset yang dialihkan dari pemerintah ke BUMD air minum. Akibatnya, pelayanan air minum bagi jutaan penduduk terganggu.
Ketentuan ini menciptakan ketidakpastian bagi BUMD AM, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas layanan. Dengan keterbatasan akses terhadap sumber air baku, BUMD am terpaksa mencari alternatif yang sering kali lebih mahal dan kurang efisien. Hal ini semakin memperburuk kondisi keuangan mereka yang sudah terbebani oleh denda administratif.
Penyelesaian masalah SPAM membutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya menangani gejala di permukaan, tetapi juga mengatasi akar permasalahan yang lebih dalam. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk membangun sistem yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Dengan memahami bahwa tantangan ini lebih besar dari apa yang tampak, para pihak berkepentingan diharapkan dapat mulai mencari solusi yang tidak hanya menyembuhkan tetapi juga mencegah permasalahan di masa depan.
“Sekali lagi, BUMD AM/PDAM hanyalah operator yang ditugasi/diamanahi oleh Pemda untuk memberikan pelayanan dasar air minum masyarakat. Sebagai operator, hakikat dari tugas BUMD AM adalah melunasi utang kepada rakyat, yaitu memenuhi hak asasi manusia (HAM) atas air minum. Pasalnya, Indonesia telah meratifikasi bahwa air minum adalah bagian dari HAM sehingga negara wajib memenuhinya,” pungkasnya.
Laporan: Zaen
Editor: Budi Santoso