FEATUREJATIMSURABAYA

SUKA DUKA PETUGAS PEMBIMBING KEMASYARAKATAN BAPAS KELAS I SURABAYA

● Cerita Djoko Priantoro, PK Bapas Kelas I Surabaya

Djoko Priantoro, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Surabaya. (Foto: Alie)

SURABAYA, BIDIKNASIONAL.com – KEBAHAGIAAN Terbesar Petugas Pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas Kelas I Surabaya (Djoko Priantoro). Dalam bekerja, setiap manusia pasti memiliki tujuan yang berbeda-beda. Bekerja sambil beribadah.” Itulah yang berusaha saya lakukan. Sebagai umat beragama harus dapat mengambil peran yang sudah ditentukan oleh Tuhannya/Agamannya, salah satunya peran manusia bagi sesamanya.

Dalam setiap pekerjaan yang telah dilakukan dengan tulus dan iklas pasti akan memberikan buah-buah kebaikan  yang berguna bagi proses hidup kita dimasa depan. Suka maupun duka dalam suatu pekerjaan adalah hal yang wajar dan selalu melekat pada pelaksanaannya. Suka dan duka bagi masing-masing petugas beraneka ragam dan tidak sama antara petugas satu dan lainnya,” cerita Djoko.

Djoko mengatakan, “suka dan duka yang saya alami saat melaksanakan tugas sebagai Pembimbing Kemasyarakatan bagi Narapidana hingga kembali ke masyarakat. Bekerja tidak mengenal waktu dia lakukan untuk menolong narapidana agar bisa berintegrasi dan mandiri di masyarakat. “

Seorang  ibu yang kira-kira berusia 68 tahun menangis haru di hadapan seorang petugas Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Surabaya (Djoko Priantoro). Perempuan tua yang tinggal di Surabaya itu tak henti-hentinya mengucap terima kasih sebab dia merasa sudah ditolong untuk mengeluarkan anaknya lebih cepat dari yang seharusnya (mendapatkan Pembebasan Bersyarat/PB). Saat itu ibu tersebut sedang mengantar sang anak untuk melakukan wajib lapor ke Bapas Kelas I Surabaya karena perkara narkotika. Sebetulnya wajib lapor tersebut merupakan wajib lapor dibulan kedua, namun ibu tersebut tetap ikut dengan tujuan untuk bertemu dengan petugas Pembimbing Kemasyarakatan (Djoko Priantoro) dengan tujuan khusus untuk menemui petugas yang telah membantunya (menurut ibu tersebut).  “Terima kasih pak..” ucapnya berkali-kali dengan suara yang bergetar sambil menangis dan memegang tangan petugas. 

Sebagai seorang anak petugas ikut merasakan bahagia melihat ibu tersebut menangis bahagia, meskipun tidak sampai mengeluarkan air mata, namun dapat terlihat keharuan dan kebahagian tersirat pada petugas tersebut. Dia terharu melihat nasib perempuan yang salah seorang anaknya mengalami cacat pertumbuhan tubuhnya, sedangkan anak tertuanya (klien) sebagai tulang punggung ekonomi keluarga harus dipenjara, demikian salah satu/sepenggal kisah yang terjadi di Balai Pemasyarakatan Kelas I Surabaya.

Sebagai petugas Pembimbing Kemasyarakatan, kata Djoko Priantoro,  pasti sangat bangga bila orang yang kita tangani dapat berhasil diberikan kesempatan untuk meningkatkan pembinaannya dari status Narapidana yang telah diberikan kesempatan untuk berintegrasi kembali dengan keluarga dan warga masyarakat. sebagai petugas pembimbing kemasyarakatan sangat berkewajiban dan bertanggung jawab agar klien tersebut mampu membaur di keluarga dan masyarakat. Petugas pembimbing kemasyarakatan harus mampu membantu klien tersebut dalam mengatasi permasalahannya dan memberikan pilihan-pilihan.

Sebagai Petugas Pembimbing Kemasyarakatan tugas yang dilakukan termasuk sangat berat. Apalagi dia seorang bagian dari keluarga yang juga memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Dia bekerja tidak mengenal waktu, tidak kenal hari libur. Bila tugas memanggilnya untuk menangani perkara terutama pada perkara Anak Berkonflik Hukum, kapan pun dia harus siap turun ke lapangan. Untuk menemui klien dalam rangka pendampingan awal, penggalian data dan pendampingan sidang/diversi yang kadang tempat tinggalnya jauh. Bahkan hingga larut malam.

“Saya pernah menangani klien dari keluarga broken home di mana anak tersebut diasuh oleh bibi dari pihak ayahnya. Sedangkan ibunya kena kasus narkoba, ayah kandung klien telah menikah lagi sejak klien masih kecil dan tidak mengurusi anak tersebut. kita bisa bayangkan bagaimana kondisi si anak dengan keadaan lingkungan semacam itu,” ujarnya,  dan akhirnya anak itu terlibat suatu perkara hingga terjerat kasus hukum. Saat itu Petugas Pembimbing Kemasyarakatan (Djoko Priantoro) mendapat tugas mendampingi anak tersebut.  

“Saat saya menangani perkara ABH tersebut kita harus mendatangi rumah kontrakan bibinya selaku wali. Karena waktu yang tersedia hanya tiga hari, maka saya memutuskan untuk melakukan kunjungan kerumah penjamin malam hari, namun kenyataannya saya tidak dapat menggali data dengan sempurna karena bibi klien itu marah-marah,”  kisah Djoko. 

Perempuan itu merasa hidupnya sudah susah. Karena itu dia tak mau direpotkan oleh urusan keponakannya. Dia tak mau menjadi wali dan penjamin bagi keponakannya. “Dia tidak mau  dilibatkan pada perkara klien mengingat bibi klien ini sudah berat mengurusi keluarganya sendiri. selanjutnya petugas pembimbing kemasyarakatan tersebut langsung menuju rumah Pak RT, setelah memperkenalkan diri sebagai petugas dari Balai Pemasyarakatan Surabaya yang  sedang menagani perkara ABH tersebut, namun ketua RT tidak berkenan memberikan keterangan. Pak RT menganggap mereka bukan penduduk di wilayah kerjanya. Tanpa mengenal putus asa selanjutnya petugas menuju rumah balai RW. Setelah petugas menerangkan maksud dan tujuan kedatangannya akhirnya ketua RW dapat mengerti dan menerima petugas.

Pak RW lalu menyuruh pengurus memanggil keluarga ABH dan ketua RT-nya. Setelah berkumpul semua, baik bibi klien anak dan Ketua RT, ketua RW lalu memberikan penjelasan maksud dan tujuan kedatangan petugas yaitu untuk memperoleh data untuk bahan persidangan kasus ABH tersebut. Pada saat itu petugas kembali memberikan penjelasan terhadap ketua RT  meskipun penjamin bukan ber-KTP di wilayahnya namun karena domisilinya di wilayah kerja ketua RT wajib untuk membantu petugas untuk memperoleh data yang diperlukan di persidangan karena ini merupakan program Pemerintah yang harus petugas lakukan sesuai Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No.11 Tahun 2012. Yang mana laporan tersebut harus selesai  selama  3 (tiga) hari harus dikirim kembali kepada pihak penyidik yang menangani kasus tersebut. 

“Akhirnya  pengurus RW, ketua RT klien Anak, dan keluarga penjamin anak dapat memahami. Kegiatan tersebut baru dapat diselesaikan hingga pukul 23.00 WIB. demi dapat menyelesaikan Litmas tepat waktu sesuai dengan UU SPPA. Intinya sebagai petugas harus sabar, ikhlas dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan yang terbaik untuk anak. Akhirnya saya selaku petugas merasa puas bisa melaksanakan tugas dengan baik walaupun bekerja meninggalkan keluarga di malam hari sampai pukul 23.00 Wib,” katanya.

Djoko Priantoro menjabat sebagai Kasubsi Registrasi Bimbingan Klien Dewasa Bapas Kelas I Surabaya, pada tahun 2005. Pada bulan Desember tahun 2018. meletakkan jabatan sebagai Kasubsi Registrasi Bimbingan Klien Dewasa, dan beralih tugas sebagai petugas Fungsional  Pembimbing Kemasyarakatan. Di Balai Pemasyarakatan Kelas I Surabaya.

Bertugas di lapangan dengan banyaknya tantangan membuat Djoko Priantoro merasa lebih hidup dan bervariasi. Menolong orang yang terjerat masalah hukum seakan dirinya beribadah, sehingga harus dilakukan dengan Iklas. Ya seperti kita sedang bersujud menghadap Tuhan, yakinlah bahwa pekerjaan akan menjadi ringan jika ada penyertaanNya.

Laporan: alie

Editor: Budi Santoso

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button