JATIMMADIUN

Stop Bullying, Pemkab Madiun Gelar Workshop Pencegahan Perundungan dan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan

Pemerintah Kabupaten Madiun melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menggelar workshop pencegahan perundungan (bullying) dan tindak kekerasan di satuan Pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Foto: ist

MADIUN, BIDIKNASIONAL.com – Pemerintah Kabupaten Madiun melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menggelar workshop pencegahan perundungan (bullying) dan tindak kekerasan di satuan Pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bertempat di ballroom I-club jalan Bali Kota Madiun, kegiatan tersebut digelar selama dua hari, Rabu dan Kamis (25-26 Oktober 2023).

Hadir dalam acara hari ini, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dra. Siti Zubaidah, M.H yang diwakili Sekdin Moch. Hasan, S. Si, Kepala Bidang Pembinaan SMP Agus Widi Agung, S. Pd, M. Si, Narasumber dari Dinas PPKB PPPA Kabupaten Madiun Yeni Mayawati, S. STP, M. Si, Konsultan PPA Jatim LPP Geofira Riza Wahyuni S. Psi, M. Si dan 102 tamu undangan yang terdiri dari unsur pendidik dan komite SMP se-Kabupaten Madiun. Sementara untuk narasumber workshop hari kedua, Kamis (26/10/2023) adalah Sakti Peksos Dinas Sosial dan Praktisi Psikologi Madiun. 

Membuka workshop, Sekertaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun Moch. Hasan memaparkan beberapa poin perihal kondisi dan tantangan menuju generasi emas satu abad Indonesia merdeka, yakni tahun 2045 mendatang. 

Salah satu langkah mempersiapkan generasi emas 2045, lanjut Hasan, adalah melakukan pembinaan dan peningkatan kualitas SDM sejak dini. Bahkan, menteri pendidikan Nadiem Anwar Makarim juga telah mencetuskan kurikulum merdeka belajar untuk mewujudkan pendidikan bagi seluruh rakyat indonesia. 

“Untuk mewujudkan Indonesia maju itu salah satunya adalah melalui pembinaan dan peningkatan SDM melalui bidang pendidikan. Oleh sebab itu Mas Menteri Nadiem membuat kebijakan program kemerdekaan belajar. Dengan merdeka belajar itu ada 4 transformasi. Kemudian untuk mewujudkan 4 transformasi, Pak menteri mengeluarkan beberapa episode – episode. Mulai episode 1, 2 dan yang terakhir itu ada episode 26. episode 1 itu zonasi AMDK, kemudian ada guru penggerak, pola penggerak pendidikan platform Merdeka mengajar, implementasi kurikulum Merdeka, transisi PAUD ke SD yang menyenangkan dan lain sebagainya. Di episode 25 Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi itu mengeluarkan episode pencegahan terkait dengan kekerasan dan penanganan di satuan pendidikan. Hari ini kita melakukan workshop terkait dengan pencegahan perundungan (bullying) dan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Program Merdeka belajar itu tujuan salah satunya adalah semua siswa yang ada di sekolah di satuan pendidikan itu bisa sekolah dengan senang. Yang pertama senang, kemudian yang kedua dengan nyaman, dan yang ketiga adalah aman dari segala sesuatu yang tidak kita kehendaki termasuk di dalamnya adalah tidak kekerasan dan perundungan atau bullying. Berdasarkan undang-undang, yang namanya tindak kekerasan itu ada enam hal apa itu ada enam hal. Pertama adalah kekerasan fisik, kedua psikis, ketiga kekerasan seksual termasuk mungkin masih terjadi, keempat intoleransi diskriminasi, kelima perundungan atau bullying dan keenam adalah kebijakan yang mengarah kepada kekerasan. Saat ini Indonesia itu adalah termasuk darurat kekerasan. Kalau kita sering melihat TV maupun YouTube, sangat banyak sekali terjadinya kekerasan di sekolah-sekolah. Perundungan, pembulian menjadi faktor kuat penyebab anak putus sekolah. Mudah-mudahan itu semua tidak terjadi di Kabupaten Madiun,” lanjutnya. 

Di episode ke-25 ini, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi itu membentuk yang namanya TPPK (Tim Penegasan Dan Penanganan Kekerasan) di satuan pendidikan. Di semua sekolah wajib membentuk TPPK minimal 3 sampai 5 orang yang terdiri dari tenaga pendidik dan komite sekolah, bukan kepala sekolah. TPPK bertugas mengemukakan rencana kerja dan mengadakan pertemuan rutin setiap 2-3 bulan sekali. Selain itu, segera melaporkan apabila di sekolah atau di lingkungan sekolah terjadi bentuk kekerasan. 

“Segera melaporkan, tapi dicek dulu. Apakah benar atau tidak. Kemudian jika memang benar, lakukan pendampingan biar mental anak itu bisa terjaga, tetap semangat, tetap tumbuh, tetap mau sekolah dan lain sebagainya. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun itu sejatinya sudah mempunyai suatu aplikasi terkait dengan perundingan, namanya Plendungan. Plendungan itu singkatan dari pelaporan perundungan. Tetapi setelah kita evaluasi kita buka dari bulan ke bulan itu ternyata tidak pelaporan. Ini ada dua kemungkinan, pertama memang tidak ada kasus kekerasan di sekolah, yang kedua itu ada kasus tetapi pihak sekolah maupun komite tidak mau melaporkan. Caranya menggunakan aplikasi ini cukup mudah. Setelah dibuka linknya, tinggal isi nama siapa yang melaporkan. Bisa kepala sekolah, bisa guru maupun komite. Kemudian, ceritakan di situ ada kejadian apa ya misalkan fisik atau psikis dan lain sebagainya nanti dilaporkan di sini,” imbuh Hasan.

Ditempat yang sama, kepala bidang perlindungan pemberdayaan perempuan dan anak Kabupaten Madiun Yeni Mayawati, S. STP, M. Si menjelaskan konsep dasar perundungan dan kebijakan perlindungan anak. Berbagai macam kasus kekerasan baik itu yang terjadi pada perempuan dan anak bisa dicegah dan ditanggulangi. Upaya pencegahan juga sudah tertuang dalam permendikbud ristek, peraturan tingkat provinsi dan peraturan tingkat daerah. 

“Perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun non verbal. Jenis perundungan di satuan pendidikan bermacam-macam, bisa secara fisik ataupun non fisik, pelecehan seksual di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang tersebut tidak nyaman, sakit hati kemudian tertekan. Pelakunya, bisa dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Adapun pencegahan dan penanggulangan, sudah tertuang pada Permendikbud 82 Tahun 2015. Di tingkat provinsi juga kita sudah ada dasar hukumnya yaitu nomor 16 tahun 2012 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak dari berbagi kekerasan. Kemudian ada Perda Kabupaten Madiun, Perda 5 tahun 2008 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak kemudian Perda Nomor 3 Tahun 2017,” paparnya.

Anak merupakan investasi SDM yang menjadi tanggung jawab bersama, bukan pemerintah saja. Selain pihak sekolah, Peran dari orang tua dan keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan. Di era otonomi daerah ini terkait dengan pemenuhan hak anak tersebut diwujudkan dalam sistem pembangunan nasional. Dalam hal ini guna mewujudkan kabupaten atau kota layak anak. 

“Kabupaten/kota layak anak ini untuk menjamin hak-hak anak dan juga dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Kalau di tingkat sekolah, bapak ibu guru dalam memberikan perlindungan yang pertama adalah menghargai pandangan anak ketika mereka ada kesempatan untuk bisa menyampaikan pendapat. Kemudian mendiskriminasi ini juga harus menjadi prinsip dasar. Non diskriminasi, tidak membeda-bedakan antara anak satu dengan anak yang lain. Anaknya orang kaya diperlakukan berbeda dengan anak dari keluarga kurang mampu. Semua anak mempunyai hak yang sama,” tambahnya. 

Dalam kesempatan tersebut, Konsultan PPA Jatim LPP Geofira Riza Wahyuni S. Psi, M. Si memaparkan dampak-dampak yang terjadi akibat kekerasan pada anak. Dikatakannya, anak di satuan pendidikan yang menjadi korban kekerasan bisa mengakibatkan putusnya sekolah yang otomatis mengancam masa depan.

“Anak kita yang sering mendapat kekerasan fisik secara psikologi, mereka akan muncul perasaan tidak dihargai. Kekerasan fisik itu akan merusak kemampuan untuk menikmati hidup, semua nggak ada yang enak, tidak pernah bahagia hidupnya, mereka mengalami gangguan berpikir. Kemudian dampak psikis mereka mengalami gangguan sosial. Itu yang terjadi pada anak kita secara perasaan mereka biasanya akan mengalami gangguan emosional, perasaan tidak dicintai, perasaan tidak dihargai, perasaan tidak diinginkan. Bagi mereka yang mengalami kekerasan seksual, mereka akan merasa rendah  harga dirinya, mengalami gangguan kecemasan. Kemudian bagi anak-anak yang jadi korban eksploitasi, terutama implementasi seksual, mereka akan berdampak kepada gangguan tumbuh kembang, rentan akan penyakit, kelelahan yang berlebihan, pendidikannya jadi terputus,” papar Riza. 

“Anak yang bermasalah di sekolah, pasti itu orang tuanya bermasalah. Makanya saya bilang perannya guru BK perannya para guru melakukan sosialisasi itu menjadi penting untuk tidak mudah terkena pengaruh dengan orang yang ada di media sosial atau kemudian percaya dengan orang yang ada di media sosial, tidak terpengaruh kepada pergaulan yang buruk. Memang, kadang-kadang saya bilang guru itu kadang-kadang harus punya kreativitas memang Capek jadi guru zaman sekarang, tapi saya bilang tidak ada yang tidak mungkin, tetap harus disosialisasi, hati-hati jangan mudah kenalan dengan orang di sosmed karena 90% anak-anak kita sekarang sudah terpapar dengan hal-hal yang negatif,” lanjutnya. 

Pada sesi tanya jawab, salah satu guru SMP mengaku cukup dilematis dalam mendidik siswa. Menurutnya, tugas guru adalah mengajar sekaligus membentuk karakter. Dalam membentuk karakter disini, tak dipungkiri sesekali terpaksa menggunakan cara yang agak keras. Konsekuensi yang dihadapi guru pun cukup berat. Banyak pantauan, oleh wali murid maupun putra didiknya. Salah sedikit, bisa berujung pelaporan. 

“Intinya bahwa langkah guru selalu terpantau oleh semua orang termasuk wali murid dan murid sendiri. Padahal tugas guru adalah tidak hanya mengajar dan mendidik membentuk karakter. Ketika kita mendidik atau membentuk karakter, prosesnya mengalami kendala. Kadang siswa yang beraneka ragam polanya, kadang suatu saat keterbatasan kesabaran mengharuskan kita membentak siswa dengan kasar agar siswa punya karakter. Pertanyaan kami apa boleh seperti ini atau mending cuma ngajar saja dengan kesabaran, diumbar seenaknya,” ungkapnya. 

Dalam kesempatan yang sama, Priyo Harianto, ketua komite SMP Mejayan juga mempertanyakan terkait kapasitas guru BK. Menurut pria yang sudah puluhan tahun menjadi ketua komite tersebut, guru BK sudah seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan yang menyangkut putra didik di sekolah. Karena bila tidak, masalah anak bisa berujung sampai pelaporan kepolisian. 

“Sudah 24 tahun baru kali ini saya diundang kegiatan seperti ini. Saya kira yang hari ini undang itu ketua komite dengan BK karena kita itu yang sering koordinasi menangani masalah. Bahkan setiap momen penerimaan siswa baru pasti ada permasalahan. Kemudian mulai diberlakukan dengan kurikulum merdeka. Bisa dibayangkan kalau sekelas bakatnya di pencak semua, apa gak koplak? Biasanya orang tua wali murid, komite itu kan tugasnya menuntut aspirasi. Kalau ada kasus, apakah BK itu di seluruh SMP yang di Kabupaten Madiun sama kemampuannya untuk menangani suatu perkara, menerima satu perkara sampai nanti perkara itu bentuknya aduan kepada sekolah. Kalau sudah tidak bisa menangani, malah jadinya terbit laporan polisi. Bayangkan kalau tertib laporan polisi perkara itu tidak bisa dicabut,” keluh Priyo. 

Menanggapi hal tersebut, Konsultan PPA Jatim LPP Geofira Riza Wahyuni S. Psi, M. Si mengupas tuntas apa yang menjadi problematika di satuan pendidikan. Menurutnya, yang perlu digarisbawahi dalam mendidik dan membentuk karakter, guru bisa membedakan antara keras dan tegas. 

“Saya katakan keras dan tegas itu beda. Itu yang perlu kita pahami. Kalau keras pasti menimbulkan trauma, pasti menimbulkan ketakutan, itu keras. Tapi kalau tegas lebih cenderung pada kesepakatan. Saya termasuk dosen di Universitas Ciputra dan Universitas Negeri Solo, saya kalau mahasiswa kesepakatannya boleh telat maksimal 15 menit tapi begitu 15 menit tidak boleh masuk. Kemudian, apakah guru dilindungi undang-undang, kita punya undang-undang banyak. Apakah guru boleh melaporkan misalnya perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang tua siswa, ya boleh. Jadi tetap, semuanya mendapatkan perlindungan. Makanya ketika kita melakukan sosialisasi, ada hak ada kewajiban. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan, untuk dia mengeluarkan pendapat. Kewajiban mereka adalah hormat kepada gurunya, kemudian taat dengan aturan-aturan yang ada, yang sudah ditentukan. Jadi semua orang mendapatkan perlindungan, tidak ada orang yang kebal hukum, ini yang menjadi catatan. Gak usah takut bapak ibu guru, selama anda benar buktinya jelas, tunjukkan,” jawab Riza. 

“Orang tua selama ini menganggap anak sekolah sudah dibayar dan selesai. Tidak bisa. Didalam pendampingan anak, sekolah itu hanya 40% sedangkan yang lainnya 60% itu adalah keluarga. Menjelaskan ini butuh waktu, karena faktanya orang tua enggan terlibat tapi anaknya ingin berhasil. Sebagai guru, ingat anda bukan Superman bukan superwoman. Anda punya aturan, dan ingat pekerjaannya guru hanya di jam sekolah, jadi di luar jam sekolah orang tuanya yang tanggung jawab,” pungkas Riza. (ADV)

Laporan: Bas

Editor: Budi Santoso

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button