JATIM

Arief Supriyono : Tinjau Ulang Permenkes No 51 Tahun 2018

Ketua BPJS Watch Jatim, Arif Supriyono

SURABAYA, JATIM, BN – Meski Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya Dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional tentang urun biaya belum diberlakukan, karena masih dalam proses pembahasan jenis pelayanan apa saja yang akan dikenakan urun biaya, ketua BPJS Watch Jatim, Arif memberikan keterangan persnya atas lahirnya Permenkes di atas.

Permenkes ini mengatur soal Urun Biaya dan Selisih Biaya.

Tentang Urun Biaya

1) Bahwa Urun Biaya memang diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) UU SJSN yg menyatakan “untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.”

Hadirnya Permenkes No. 51 tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk mengendalikan biaya INA CBGs.

Hal ini bisa dibaca di Pasal 9 ayat 5 Permenkes 51/2018 ini yg menyatakan BPJS Kesehatan membayarkan besaran klaim pelayanan kepada RS sebesar biaya pelayanan yang diberikan oleh RS dikurangi besaran Urun Biaya yang dibayarkan peserta JKN. Jadi Permenkes ini memang diabdikan utk mengurangi defisit.

2) Memang Urun Biaya belum berjalan karena sesuai Pasal 4 Permenkes ini, Menkes harus menetapkan Jenis Pelayanan Kesehatan yang dapat menimbulkan pelayanan kesehatan tersebut. Nah karena belum ada sampai saat ini maka urun biaya belum bisa dijalankan.

Untuk Penetapan jenis pelayanan kesehatan ini dibentuk Tim. BPJS Watch mendorong Tim yang akan dibentuk harus hati-hati dan obyektif dalam mengusulkan jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan Urun Biaya.

Selain itu saya mengusulkan agar ada perwakilan dari peserta JKN (yang bisa diwakili oleh YLKI atau BPJS Watch) di Tim tersebut, karena di pasal 4 ayat 4 mengakomodir dari pihak lain yang terkait.  Kehadiran perwakilan peserta JKN ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta JKN terlindungi dalam mekanisme Urun Biaya ini, sehingga tidak dikondisikan untuk mengeluarkan biaya dalam pelayanan JKN.

3) Pelaksanaan Urun Biaya harus disertai dengan pengawasan dari pemerintah dan BPJS sehingga potensi terjadinya pembiasan Urun Biaya yg merugikan peserta JKN dapat dihindari.

Pasal 6 yang mengamanatkan Faskes wajib menginformasikan jenis pelayanan kesehatan yang dikenai urun biaya dan estimasi besaran urun biaya juga harus benar-benar dilaksanakan dan tetap diikuti oleh pengawasan agar hal tersebut benar-benar terlaksana. Jangan sampai ada unsur paksaan terhadap peserta JKN.

 

Tentang selisih biaya.

Kehadiran Pasal 10 ayat 5 yaitu mengatur hanya bisa naik satu tingkat lebih tinggi dari klas yang menjadi hak peserta, adalah tidak tepat. Harusnya dibuka saja seperti aturan yang lama. Mengapa ?
Karena :

  1. BPJS tidak dirugikan dalam membayar INA CBGs nya. BPJS Kesehatan tetap membayar sesuai INA CBGs klas perawatan peserta JKN tersebut.

  2. Kalau dibilang bahwa dengan ketentuan lama (naik klas boleh lebih satu tingkat) semua orang mampu akan daftar di klas 3 (bukan di klas 1 tapi kalau sakit bisa naik sampai klas 1 atau VIP) sehingga BPJS Kesehatan dirugikan karena orang kaya hanya mendaftar di klas 3, menurut saya itu tidak tepat. Menurut saya semua orang punya hak untuk menentukan klas perawatannya. Orang kaya pun berhak mendaftar di klas 3.

  3. Pasal 10 ayat 5 akan mengganggu COB (coordination on benefit) sehingga bisa mengurangi hak pekerja formal (PPU) yang dijamin asuransi swasta, khususnya PPU yg mendapat klas 2 sehingga hanya boleh naik ke klas 2, walaupun mekanisme COB membolehkan sampai VIP. Ya, Pekerja formal akan rugi. COB terganggu sehingga Asuransi kesehatan swasta akan semakin tidak diminati oleh perusahaan. Aturan ini akan berpotensi menurunnya minat perusahaan swasta ber COB dengan asuransi kesehatan swasta. Ini kerugian bagi asuransi kesehatan swasta.

Lalu RS pun akan kehilangan potensi pendapatannya dari selisih biaya yang dibayar tersebut. Dengan peserta mandiri ataupun PPU yang bisa naik klas lebih dari satu tingkat dengan membayar selisih maka RS akan lebih berpotensi mendapatkan dana cash secara langsung lebih banyak, yang bisa langsung digunakan utk biaya operasional. Hal ini bisa membantu cash flow RS yang selama ini terkendala karena klaim RS belum dibayar oleh BPJS Kesehatan.

Jadi Pasal 10 ayat 5 ini akan berpotensi merugikan Pekerja PPU dan peserta mandiri, Perusahaan Asuransi Kesehatan swasta dan RS-RS. Oleh karenanya Pasal 10 ayat 5 ini seharusnya ditinjau ulang.

Di hubungi pertelpon oleh wartawan koran mingguan Bidik Nasional & bidiknasional.com, Arief menegaskan, lebih bijak jika BPJS menaikkan iuran bulanan pesertanya dari pada menerapkan aturan permenkes No. 51 tahun 2018. (boody)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button