SUMUT

Kasus Kekerasan di Sei Berombang Berdamai, Ini Tanggapan Keluarga Korban

LABUHANBATU, SUMUT, BN-Pelaku penganiayaan berikut dengan keluarga korban, akhirnya kini sudah dapat berdamai. Oleh karena itu, orangtua korban meminta agar persoalan ini jangan diungkit lagi.

“Kami kedua orangtua Ade dan Putra membuat pernyataan bahwa kami tidak keberatan lagi atas terjadinya kekerasan terhadap kedua anak kami, karena kami sudah berdamai dan kami mohon agar pihak lain tidak lagi mengungkit permasalahan kami,” tegas orangtua korban, Sabtu (2/5/2020) di di Aula Kantor Camat Sei Berombang.

Sebagaimana yang diketahui, peristiwa penganiayaan kepada remaja di bawah umur, karena alasan pencurian yang terjadi di Kelurahan Sei Berombang, Kecamatan Panai Hilir, Labuhanbatu, pada 23 Januari 2020 lalu.

Masyarakat di Sei Berombang bersepakat untuk tidak lagi mempersoalkan peristiwa penganiayaan di kelurahan itu, dengan korbannya, dua remaja, Aditia dan Putra, pada akhir Januari lalu oleh AC dan DY (pemilik gudang BBM) yang kemudian diamankan aparat kepolisian.

Setelah berlalu hampir tiga bulan pasca peristiwa, akhirnya kedua pihak bersepakat untuk berdamai. Kepada dua remaja usia 14 tahun itu, pun diberikan semacam simbol/tanda perdamaian yang lebih tepatnya Upah-upah dalam istilah daerah di kawasan Pantai Timur Sumatera.

Acara Upah-upah yang ditandai rangkaian bunga rampai pun terlihat diberikan kepada Aditia dan Putra yang diiringi doa agar semangat dari keduanya bisa kembali kuat. Isinya pulut dan ayam goreng, sebagaimana biasa dalam resepsi adat pada warga pesisir (Melayu).

Warga setempat pun menerima keputusan tersebut demi kebaikan bersama. Tak terkecuali Tokoh Pemuda Kecamatan Panai Hilir, Muhammad Ikhwan. Baginya perdamaian antara keluarga korban dan pelaku membuat situasi di kelurahan itu aman dan damai.

Karenanya Ikhwan meminta semua warga tidak lagi membuat suasana menjadi keruh kembali. Karena baginya, pengadilan yang baik itu adalah berdamai, dan tidak perlu lagi mengungkit atau membuka peristiwa pahit masa lalu yang akibatnya bisa menimbulkan persoalan.

“Keluarga pelaku juga mengalami kerugian materi. Kalau itu dipersoalkan, tentu pengerusakan rumah itu melanggar hukum. Jadi tidak baik kalau bicara hukum (positif), sudahlah, jangan diributkan lagi. Yang pasti kami tahu kampung kami sendiri,” katanya menegaskan kearifan lokal masih kuat.

Meski Upah-upah berlangsung di Aula Kantor Camat Panai Hilir, tak mengurangi nilai sakral bahwa wilayah itu masih menjunjung tinggi norma ketimuran Indonesia. Termasuk unsur Forkopimcam yang ikut menyaksikan dan memberikan upah-upah (doa selamat) kepada Aditia dan Putra.

Di tempat lain, giliran Tokoh Masyarakat Tionghoa Alai Yamin yang mengapresiasi keputusan kedua belah pihak. Dengan begitu, tali persaudaraan sesama warga tetap terjaga.

“Berdamai adalah jalan terbaik. Walaupun berbeda suku, kita adalah saudara setanah air, bangsa Indonesia, satu tempat tinggal di Kelurahan Panai Hilir. Mari kita tutup persoalan ini, karena kedua belah pihak juga sudah berdamai,” kata Alai.

Simbol Upah-upah, persaudaraan, norma dan kebudayaan yang dimiliki warga Sei Berombang ini kemudian punya peran besar dalam menyelesaikan persoalan yang timbul di masyarakat. Termasuk menghormati pemuka Agama, tokoh masyarakat dan pemuda, dalam menjaga harmonisasi warga, terutama yang berbeda suku/etnis.

Kini, situasi di Sei Berombang pun kondusif. Kedua pihak berdamai, tak saling menuntut hukum, serta mencegah terjadinya konflik antar suku (SARA). (MF Tarigan)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button