Keadaan Memaksa Akibat Pandemi Covid 19 Dalam Perjanjian Hutang
Oleh Ahmad Badawi SH. MH.
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menyebar pada penjuru dunia, termasuk Indonesia sejak tanggal 2 Maret 2020 dan ditetapkan sebagai Global Pandemic oleh World Health Organization (WHO) tanggal 11 Maret 2020. Guna melakukan pencegahan pada penyebaran virus tersebut pemerintah dan pemerintah daerah telah menerbitkan berbagai kebijakan, antara lain untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, menjaga jarak (social distancing dan physical distancing), tetap dirumah saja, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga kemudian Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020, tanggal 13 April 2020 menetapkan Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional Non-Alam. Kebijakan yang diterbitkan tersebut membawa dampak ekonomi bagi masyarakat, antara lain menurun hingga hilangnya pendapatan bagi karyawan dan pekerja harian, tukang ojek atau ojek online, ritel, pedagang keliling, usaha pariwisata, hotel dan restoran serta usaha-usaha lainnya, tetapi juga ada usaha yang tidak terdampak, misalnya usaha pada bidang kesehatan (apotek), toko sembako (beras, minyak, mie instan) dan lainnya.
Bagi mereka yang terdampak dan terikat pada perjanjian hutang, membawanya dalam keadaan gagal bayar atau tidak dapat memenuhi hutang atau kewajibannya, lazimnya perbuatan gagal bayar tersebut merupakan tindakan wanprestasi, yakni a) tidak mampu memenuhi lagi prestasinya; atau b) tidak lunas memenuhi prestasi; atau c) terlambat memenuhi prestasi; atau d) keliru memenuhi prestasi. Gagal bayar tersebut dikarenakan menurun hingga hilangnya pendapatan kerja yang secara konkret terjadi pada karyawan atau pekerja harian, misalnya terdapat larangan bekerja sebagai pencegahan Covid-19, tukang ojek atau ojek online, hotel dan restoran sepi bahkan nyaris tidak ada konsumen, toko-toko barang dan jasa tutup sesuai anjuran pemerintah atau pihak terkait untuk dirumah saja. Semua itu menjadi usaha tidak berjalan sebagaimana lazimnya dan juga tidak mampu untuk menghindarinya, misalnya dilakukan secara daring (online) sebagai upaya menghindari keadaan itu.
Dalam perjanjian hutang, terkait bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai pada pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih (pasal 1766 BW). Padahal, sejak 2 Maret 2020 hingga 26 April 2020 pada saat tulisan ini dibuat kebijakan-kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah masih tetap diberlakukan dan belum pasti kapan dicabut.
Berdasarkan urian itu, apakah debitur yang terdampak Covid-19 dalam keadaan memaksa (overmacht/force mjeure)? Dan apakah mereka wajib membayar biaya, bunga dan rugi hingga pengembalian atau penitipan uang pokoknya meskipun setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih? Keadaan Memaksa (Overmacht / Force Majeure).
Pengaturan terkait keadaan memaksa (overmacht / force majeure) termuat dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW, pasal-pasal tersebut diartikan oleh Wirjono Prodjodikoro pada Pasal 1244 BW “sebab asing yang tidak dapat dipertanggungjawabkan” dan Pasal 1245 BW “keadaan memaksa atau hal kebetulan”. Sedangkan menurut Riduan Syahrani, keadaan memaksa (overmacht / force majeure) adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya. Lebih konkretnya, menurut R. Setiawan, keadaan memaksa (overmacht / force majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat, kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. Berdasarkan uarian tersebut, keadaan memaksa (overmacht / force majeure) merupakan keadaan tidak dapat memenuhi pembayaran hutang yang dijanjikannya atau melanggar perjanjian yang disebabkan keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terduga.
Dalam praktik, keadaan memaksa terdapat 2 (dua) macam, yakni bersifat mutlak (absolut) dan bersifat nisbi (relatif), cara mengukurnya untuk bersifat mutlak bila keadaan tersebut menyebabkan semua orang tidak dapat melaksanakan perjanjian, sedangkan bersifat nisbi bila hanya pada orang tertentu saja keadaan itu menyebabkan tidak dapat melaksanakan perjanjian. Keadaan memaksa yang bersifat nisbi terdapat 2 (dua) teori yang menjabarkannya, yakni inspanning theorie dari Houwing, menyatakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban bilamana telah berusaha sekuat tenaga melaksanakan perjanjian dan menghindarkan diri dari segala malapetaka, tetapi tidak ada hasilnya, kedua gevaarzetting theorie dari Hofman dan Pitlo menyatakan orang harus berani menanggung resiko, meskipun tidak bersalah tetap menanggung resikonya.
Dalam pelaksanaan perjanjian, keadaan memaksa menurut Riduan Syahrani dapat dibedakan antara lain: a) overmacht yang lengkap, bilamana overmacht yang menyebabkan suatu perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksanakan samasekali; b) overmacht yang sebagian, bilamana overmacht yang mengakibatkan sebagian dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan; c) overmacht yang tetap, bilamana overmacht yang mengakibatkan suatu perjanjian terus menerus atau selamanya tidak mungkin dilaksanakan; dan d) overmacht yang sementara, bilamana overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan perjanjian ditunda dari pada waktu yang ditentukan semua dalam perjanjian.
Pembuktian ada dan tidaknya suatu keadaan memaksa dibebankan pada debitur, bilamana debitur beralasan overmacht dan mengakibatkan tidak dapat memenuhi pembayaran hutang yang dijanjikannya atau melanggar perjanjian dengan sebab adanya kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pencegahan Covid-19 secara kasuistis, membuktikan secara kasuistis terdapat 2 (dua) teori, yakni Conditio Sine qua Non dari Von Buri dan Adequate Veroorzaking dari Von Kries. Menurut teori Conditio Sine qua Non menyatakan suatu akibat yang ada ditimbulkan oleh berbagai peristiwa dari adanya sebab dan teori Adequate Veroorzaking menyatakan suatu syarat merupakan sebab, bila menurut sifatnya menimbulkan akibat, menurut Hoge Raad suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diduga akan terjadinya akibat.
Pada debitur yang terdampak Covid-19 dengan keadaan yang menjadikan usahanya tidak dapat terjadi atau berjalan sebagaimana lazimnya dan mereka itu tidak mampu menghindarinya, misalnya dilakukan secara daring (online) sebagai upaya menghindari keadaan itu, maka debitur tersebut secara kasuistis telah mengalami keadaan memaksa (overmacht / force majeure), akibatnya penghasilan usahanya tidak dapat memenuhi pembayaran hutang yang dijanjikannya atau melanggar perjanjian pelunasan hutang yang disebabkan keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terduga dari mewabahnya Covid-19. Keadaan memaksa pada debitur tersebut bersifat nisbi (relatif) dan berkesesuaian dengan inspanning theorie dari Houwing, yakni debitur harus telah berusaha menjalankan usahanya sesuai dengan anjuran dan protokol pencegahan Covid-19 dari pemerintah dan pemerintah daerah atau pihak-pihak terkait, tetapi tetap tidak ada hasilnya.
Kewajiban membayar biaya, bunga dan rugi.
Pada perjanjian hutang terkait bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai pada pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih terhadap debitur yang terdampak Covid-19 perlu ada pembuktian. Bilamana debitur yang terdampak terbukti secara kasuistis termasuk dalam keadaan tidak dapat memenuhi pembayaran hutang yang dijanjikannya atau melanggar perjanjian yang disebabkan oleh Covid-19, maka debitur tersebut tidak wanprestasi tetapi dalam keadaan memaksa (overmacht / force majeure) yang bersifat relatif dan secara praktik merupakan suatu overmacht yang sementara, sebab secara kasuistis penerapan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah terkait pencegahan Covid-19 bersifat sementara dan dapat menjadi alasan pelaksanaan perjanjian ditunda dari pada waktu yang ditentukan semua dalam perjanjian yang secara kasuistis pula berkaitan dengan tenggang waktu pelaksanaan kebijakan tersebut mulai dari tanggal 2 Maret 2020 hingga kemudian diatasinya Covid-19, maka kegiatan usaha bagi debitur dapat berjalan sebagaimana lazimnya dan secara kasuistis pula debitur tersebut telah keluar dari keadaan memaksa (overmacht / force majeure). Penerapan keadaan memaksa (overmacht / force majeure) yang disebabkan Covid-19 tidak serta merta terjadi, tetapi terdapat 2 (dua) cara, yakni: a) sesuai dengan anjuran pemerintah dengan menyusuaikan pada kebijakan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Relaksasi dan Strukturisasi yang pelaksanaannya berdasarkan pada Pasal 1338 BW, menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Anjuran tersebut diperkuat oleh pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan keamanan (Menkopolhukam), Prof Mahfud MD yang menyatakan terkait Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 dapat dijadikan pintu masuk renegosiasi kalangan bisnis karena keadaan memaksa (force majeure) akibat imbas pendemi covid-19. Maka debitur dapat mengajukan permohonan pada kreditur untuk mengadakan kesepakatan dalam pengurangan atau keringanan atau pelanggoran atas kewajiban atau pelaksanaan pembayaran hutangnya, berdasarkan kesepakatan itulah kemudian pembebasan kewajiban membayar biaya, bunga dan rugi hingga pengembalian atau penitipan uang pokoknya meskipun setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih pada debitur sebagai penerapannya. Atau b) bilamana permohonan yang diajukan debitur tidak ada hasilnya atau tidak ada kesepakatan dengan kreditur, maka debitur dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan alasan keadaan memaksa (overmacht / force majeure), berdasarkan putusan pengadilan itu pembebasan kewajiban membayar biaya, bunga dan rugi hingga pengembalian atau penitipan uang pokoknya meskipun setelah lewatnya waktu utangnya dapat dibayarkan oleh debitur sebagai landasannya.
Berdasarkan kesepakatan renegosiasi (relaksasi dan restrukturisasi) dan putusan pengadilan pada debitur yang tidak dapat memenuhi pembayaran hutang yang dijanjikannya atau melanggar perjanjian yang disebabkan keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terduga terkait terbitnya kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah atau pihak-pihak terkait dalam hal pencegahan Covid-19 dan secara kasuistis terbukti sebagai pihak yang terdampak, maka debitur tersebut tidak dapat disebut wanprestasi, tetapi termasuk dalam keadaan memaksa (overmacht / force majeure). Sehingga terkait hukum jaminan pada gadai, hipotek, hak tanggungan dan jaminan fidusia terhadap debitur yang usahanya terdampak yang membawanya dalam keadaan gagal bayar atau tidak dapat memenuhi pelunasan hutang atau kewajiban yang melekat padanya selayaknya pula tidak dapat dinyatakan wanprestasi, tetapi pada mereka yang terdampak dapat diterapkan penundaan pembayaran (status quo), pengurangan atau pembebasan berdasarkan kesepakatan atau putusan pengadilan hingga teratasinya Covid-19, maka dari itu, eksekusi terhadap benda jaminan sepatutnya tidak dapat diterapkan.
Berdasarkan uraian yang tersebut diatas, maka bagi debitur yang terdampak Covid-19 selayaknya mengutamakan renegosiasi untuk mendapatkan relaksasi dan restrukturisasi, bilamana tidak ada hasilnya, dapat mengajukan gugatan di pengadilan atas alasan dalam keadaan memaksa (overmacht/force mjeure), sehingga pada kewajiban membayar biaya, bunga dan rugi hingga pengembalian atau penitipan uang pokoknya meskipun setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih bisa dibebaskan, ditunda atau dikurangi berdasarkan kesepakatan atau putusan pengadilan.