JATIM

Ketua BPJS Watch Jatim Soroti Pepres No. 64 Tahun 2020

Ketua BPJS Watch Jawa Timur Arif Suprioyono

SURABAYA, JATIM, BN-Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 resmi ditetapkan pemerintah yang mengatur tentang penyesuaian besaran iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Hal itu mendapatkan tanggapan keras dari Ketua BPJS Watch Jawa Timur Arif Suprioyono mengenai pasang surut penyesuaian iuran BPJS Kesehatan.

Mengawali bahasannya, Ia menjelaskan pada putusan hakim Mahkamah Agung ( MA) yang menurunkan iuran Jaminan kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) segmen Peserta Bukan Penerima Upah/mandiri dan Bukan Pekerja (BP) berikut dua pertimbangan hukum yaitu daya beli masyarakat masih rendah, dan pelayanan BPJS kesehatan yang belum membaik.

Dengan dua pertimbangan hukum ini maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri kelas I dari Rp.160.000,- menjadi Rp.80.000,-, kelas II dari Rp.110.000,- menjadi Rp.51.000,- dan kelas III dari Rp.42.000,- menjadi Rp. 25.500,-.

Atas pertimbangan hukum tersebut, Arif menilai seharusnya pemerintah berusaha membuat bagaimana agar daya beli masyarakat lebih dinaikkan serta pelayanan BPJS Kesehatan semakin ditingkatkan, baru kemudian melakukan penyesuaian iuran.

“Dalam kondisi pandemi seperti ini kan sudah sangat jelas dan kasat mata kalau daya beli masyarakat termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal sulit bekerja seperti biasa karena Covid19 ini,” ungkapnya di Surabaya (13/05).

Setelah itu, lanjut Arif, cara pelayanan BPJS Kesehatan di era covid-19 justru menunjukkan grafik pelayanan cenderung menurun. Sebagai contoh, banyak terjadi dan menjadi persoalan saat sekarang, seorang pasien peserta JKN-KIS ketika dirawat inap di rumah sakit harus melakukan test covid19.

“Salah satu contoh pasien diminta membayar 750 ribu untuk test covid19 tersebut, padahal dengan sangat jelas, pasal 86 perpres 82 tahun 2018 menyebutkan,pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada juga pasien JKN karena tidak mampu membayar 750 ribu dipulangkan, yang seharusnya dirawat di RS. Akibatnya Si pasien meninggal di rumah dan masih banyak lagi kasus lainnya yang tidak saya sebut satu-persatu,” bebernya.

Pria alumnus Unipra Surabaya ini memaparkan, RKAT (Rencana Kerja & Anggaran Tahunan) BPJS kesehatan tahun 2020. Pos Penerimaan ditargetkan 137 Triliun, karena adanya putusan MA maka kembali direvisi sehingga menjadi 132 Triliun.

“Pemerintah sudah tambah 3 triliun (bagian dari 75 Triliun yang dialokasikan APBN untuk covid19). Penerimaan menjadi 135 Triliun. Ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp. 5 Triliun lebih kalau pemda membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Pepres no. 82 tahun 2018,” ujarnya.

“Sekarang kita analisa beban biaya. Tahun lalu beban biaya 108 Triliun. Kalau pun naik 10% di 2020 maka beban biaya jadi 118.8 Triliun. Ditambah utang BPJS ke Rumah Sakit di tahun 2019 yaitu 15 Triliun. Jadi total 133.3 Triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar 5 Triliun,” imbuhnya.

Dari analisa biaya ini sambung Arif, seharusnya BPJS kesehatan bisa surplus di tahun 2020 sebesar 1.7 Triliun. Surplus bisa lebih besar bila BPJS kesehatan mengawasi secara serius fraud di Rumah Sakit, puskesmas dan klinik yang ‘suka’ merujuk pasien ke RS sehingga biaya muncul.

“Belum lagi kalau BPJS kesehatan mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya 3.4 Triliun. Bila Pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 tentang sanksi tidak mendapatkan layanan publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatah. Belum lagi kalau Menkeu tegas ke pemda yang tidak setor pajak rokok ke BPJS Kesehatan,” terangnya.

Jika semua kebijakan tersebut dilakukan, Arif mengatakan Dana Jaminan Sosial (DJS) JKN dapat surplus dan tidak harus menaikkan iuran.

“Lalu kalau kita sandingkan isi perpres 64 ini dengan UU SJSN maka sangat kasat mata perpres ini bertentangan dgn UU SJSN dan UU BPJS. UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin, tapi di perpres 64 ini peserta mandiri kelas III yang juga mampu, tetap disubsidi oleh pemerintah. Klas III mandiri itu juga dihuni oleh masyarakat mampu. Begitu pula kelas Ii dan kelas I sudah banyak yang turun kelas ketika Pepres 75 tahun 2019 dirilis,” singgungnya.

Dia menegaskan,seharusnya langkah yang diambil adalah melakukan cleansing data Penerima Bantuan Iuan ( PBI) dan bila memang penghuni klas III mandiri tergolong miskin, dimasukkan saja ke PBI, sementara yang mampu bayar sendiri tanpa subsidi.

“Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Pepres No. 64 ini. Kalau Pemerintah berkemauan seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perpu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tersebut,” jelasnya.

Di tengah pandemi saat ini pekerja informal yang sangat sulit perekonominya,kenapa malah dinaikkan iurannya per 1 juli 2020 nanti bagi Peserta JKN kelas I dan II yang nilainya mendekati iuran yang sudah dibatalkan MA. Per 1 juli 2020 ini kelas I naik lagi jadi 150 ribu per orang per bulan. Kelas II jadi 100 ribu. Kelas III di subsidi 16.500 dan di 1 januari 2021 naik menjadi 35.000 sehingga pemerintah hanya memberikan subsidi 7.000.

“Rakyat sudah susah malah dibuat susah. Saya prediksi, rakyat yang tidak mampu bayar 150 ribu dan 100 ribu di juli 2020 nanti akan jadi non aktif. Tunggakan iuran akan meningkat lagi. Kalau non aktif tidak bisa dijamin. Lalu hak konstitusional rakyat mendapatkan jaminan kesehatannya dimana?,” jelasnya.

Pepres 82 tahun 2018 mengamanatkan iuran ditinjau paling lama 2 tahun, pasal berikut harus melihat kondisi riil daya beli masyarakat seperti yang “diamanatkan” Hakim MA dalam pertimbangan hukumnya.

“Jangan juga pemerintah aji mumpung menggunakan pasal itu untuk memberatkan masyarakat di tengah pandemi Covid ini. Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang menangani JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan,” pungkasnya. (boody)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button