Opini
MENAKAR PERAN DISNAKERTRANS & PENGAWAS KETENAGAKERJAAN
SEBAGAI PENENGAH PERSELISIHAN ANTARA KARYAWAN DENGAN
PERUSAHAAN.
OLEH
Seketika raut wajah pemuda tersebut terlihat pucat pasi dan sedih, mendapati hasil dari beberapa kali mediasi di Disnakertrans tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemuda tersebut adalah seorang Karyawan yang telah mendapatkan perlakuan semena-mena oleh sebuah Perusahaan Pembiayaan / Finance, sudah 2 (dua) tahun menjadi karyawan tetap, tapi belum didaftarkan oleh perusahaan pada BPJS Ketenagakerjaan, dan ini menjadi masalah serius untuk mendapatkan hak-hak nya ketika karyawan tersebut tengah mengalami kecelakaan kerja.
Ini adalah salah satu gambaran karyawan yang sedang dirundung masalah karena berusaha menuntut hak-haknya, hak tentang Pesangon, hak tentang Kesehatan dan hak tentang mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Kadang rasa ketidak adilan yang belum di peroleh oleh karyawan adalah sangat menyakitkan, disebabkan faktor kelalaian, pembiaran, intimidasi dan kese-wenang – wenangan yang selalu dilakukan oleh pihak Perusahaan, hmmm… nasibmu karyawan.
Dalam UU Nomer 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan, diantaranya dijelaskan bahwasanya Dinas Tenaga Kerja & Trans-migrasi Kabupaten serta Pengawas Ketenagakerjaan harus menjadi kepan-jangan tangan Negara dan harus bisa memediasi dan menyelesaikan persoalan perselisihan (Tripartit) yang sering terjadi antara Karyawan dan pihak Perusahaan.
Bahwasanya Mediator harus berlaku adil, tetapi dalam prakteknya di lapangan, seperti yang tengah di alami karyawan tersebut, bahwasanya Mediator keberpihakanya diduga cenderung lebih kepada pihak Perusahaan, (benar-kah ?).
Dalam kontruksi Hukumnya, Mediator selambat-lambatnya diberi batas waktu maksimal 30 hari kerja dihitung sejak diberikan pelimpahan untuk menyelesaikan
perselisihan, seperti termaktub dalam pasal 15 UU-PPHI (Penyelesaian Perseliisihan Hubungan Industrial) dan pasal 15 ayat 1 Permenakertrans Nomer 17 tahun 2014.
Dan dalam mediasi, waktu bisa diper-panjang lagi jika ada kesepakatan dari kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan). Ada semacam kegalauan dan rasa pesimis dari pihak karyawan, mengenai anjuran yang akan dituangkan dalam Per-janjian Bersama (PB) tersebut, seharusnya memenuhi rasa keadilan untuk kedua belah pihak.
Jika anjuran tersebut mencederai rasa keadilan salah satu pihak, maka bisa menjadi preseden buruk dalam penyelesaian perselisihan (Tripartit) berikutnya.
Waktu, tenaga, pikiran, telah di kuras untuk mencari sebuah penyelesaian sebuah per-selisihan. Karena anjuran dari Disnakertrans memang hanya sebatas berisi tentang memberikan penyelesaian tuntutan atas hak pesangon nya saja sesuai amanah UU Nomor 13 tahun 2003.
Sedangkan persoalan tuntutan hak-hak lain yang berkaitan tentang Ketenagakerjaan tidak cukup berhenti sampai disitu saja, karena Karyawan yang telah mengalami ke-celakaan kerja, harus membuat pengaduan lagi ke UPTD Pengawas Ketenagakerjaan Propinsi menuntut diberikanya atas hak Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), seperti contoh karyawan yang mengalami ke-celakaan hingga patah kaki saat bekerja harus segera mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK) dari BPJS, jadi untuk proses waktu yang diperlukan adalah masih panjang lagi.
Padahal kalau di runut ke belakang, saat mediasi di Disnakertrans, pihak pengawas ketenagakerjaan juga ikut ambil bagian dalam mediasi tersebut.
Seperti satu contoh, walaupun sebenarnya pihak Pengawas Ketenagakerjaan pernah memberikan pernyataan dengan tegas dan tercatat dalam sebuah mediasi di Disnakertrans yang berisi;
1.Bahwa benar Pihak Perusahaan pem-biayaan / finance tersebut belum pernah mendaftarkan Karyawanya kepada BPJS Ketenagakerjaan,
2.Bahwa benar Pengawas Ketenagakerjaan menegaskan bahwa Perusahaan tersebut benar-benar telah melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 (UUKetenagakerjaan) dan UU Nomer 24 tahun 2011 (UU- BPJS).
Namun pada prakteknya Pihak Pengawas tidak bisa serta – merta langsung MEMANGGIL ataupun memberikan NOTA kepada pihak Perusahaan yang ditengarai nyata-nyata tidak menjalankan amanah dari UU Ketenagakerjaan tersebut.
Inilah buah Reformasi Birokrasi yang harus dilalui dengan penuh kesabaran oleh Karyawan pencari keadilan dan masyarakat indonesia.
Suka atau tidak suka Hak Jaminan Kece-lakaan Kerja (JKK) harus tetap diberikan sesuai amanah Undang-Undang dan harus dipatuhi.
Tapi dalam prakteknya selalu terjadi kelam-batan memberi tindakan (slow respon) dari Pengawas Ketenagakerjaan dan masih selalu menggunakan alasan klasik “menunggu intruksi dari pimpinan yang lebih atas lagi”.
Sehingga pihak Pengawas Ketenagakerjaan terkesan menganak emaskan (beapprised) kepada pihak Perusahaan, walaupun hanya sekedar untuk melakukan klarifikasi permu-laan pada perusahaan tersebut (ataukah memang harus berakir dengan Laporan Pidana?…. hmmm).
Dari hal-hal yang terurai tersebut, seyogyanya Pemerintah Propinsi ataupun Pemerintah Daerah menunjuk Mediator-mediator Disnakertrans dan Pengawas-pengawas Ketenagakerjaan yang benar-benar mumpuni dalam bidangnya, profe-sional, berkompetensi serta selalu bersikap independen dalam setiap kali menangani perselisihan, serta setidaknya bisa mema-hami arti dari rasa s a k i t dan t r a u m a t i k yang sekian lama telah di derita oleh karyawan yang sedang mencari Keadilan tersebut.(*)