Tegas! Kejagung Sebut Restoratif Justice Tak Dapat Diterapkan Dalam Kasus Pemerkosaan
Dr. Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung
JAKARTA, BIDIKNASIONAL.com –Menanggapi isu terkait maraknya praktik jual beli perkara melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dalam penanganan kasus yang menyebabkan suatu perkara pidana berhenti diproses.
Seperti dilontarkan Edwin Partogi Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyebut masih ada praktek jual beli Restorative Justice dengan mencontohkan kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan klarifikasi melalui keterangan tertulis yang diterima wartawan, Dr. Ketut Sumedana Kapuspenkum angkat bicara.
“Kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual dan eksploitasi seksual tidak termasuk dalam kategori perkara yang bisa dihentikan proses hukumnya berdasarkan Keadilan Restoratif atau (Restoratif Justice). Mengingat, kasus pemerkosaan dapat menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban sekaligus berdampak luas kepada masyarakat,” tegas Dr. Ketut Sumedana
Hal itu mengacu pada Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, dimana penerapan Keadilan Restoratif tidak boleh melanggar ketentuan antara lain (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4). “dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tersangka tidak berdampak luas ke masyarakat,”. terang Kapuspenkum Kejagung.
Lebih lanjut Dr. Ketut Sumedana menerangkan Kami penting memberi klarifikasi sekaligus pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) demi penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis tidak tercoreng kendati secara spesifik tidak menuding langsung lembaga Kejaksaan.
Menurut Kapuspenkum Kejagung penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan Hukum Acara Pasal 139 dan 140 KUHAP, disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.
Selain merupakan kewenangan Penyidik berdasarkan Peraturan Kejaksaan Agung RI, dan KUHP, penerapan Keadilan Restoratif ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi hingga pada kompensasinya”. jelas Kapuspenkum
Menurutnya dalam penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana. Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi.
Pada pringsipnya Kejaksaan mengapresiasi terhadap kritik dan saran pelaksanaan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di setiap daerah dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan terhadap pelaksanaan Keadilan Restoratif di daerah.
“Untuk itu, kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan,” seru Kapuspenkum
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta memiliki dampak luar biasa di masyarakat yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat. pungkasnya.
Sumber : Puspenkum Kejagung
Laporan : Toddy Pras H
Editor : Budi Santoso